Anak Angkat (Sebuah Cerpen) By Ami Daria
PlanetCerpen.com - Arman seorang duda tanpa anak. Pernah menikah namun istrinya meninggal saat belum dikaruniai anak. Arman termasuk lelaki berhati lembut yang cinta pada anak-anak. Suatu hari Arman makan di restoran mahal. sedang enak-enaknya menikmati makananan, datang anak kecil berusia sekitar 10 tahun sambil membawa ecek-ecek, sebuah alat musik yang terbuat dari tutup botol. Dengan suaranya yang cempreng dia menyanyikan sebuah lagu. Diam-diam Arman mengamati anak itu. Badannya kurus, kulitnya hitam, rambutnya memerah.
Arman menyodorkan uang lima ribuan.”Kamu sudah makan?”
Pengamen itu menerima uang itu dan menjawab “Belum.”
“Kalau begitu kamu makan dulu. Ayo duduk.” Arman
menarik kursi dari bawah meja.
Pengamen kecil itu hanya berdiri tertegun. Arman memesan makanan dan minuman untuknya. Dari hasil percakapan, akhirnya Arman tahu kalau pengamen kecil itu bernama Nicko, masih duduk di kelas V SD. Kalau pagi sekolah, siangnya mengamen. Kedua orang tuanya pemulung. Adiknya ada dua. Entah mengapa, saat pertama kali melihat anak itu, Arman langsung jatuh hati. Timbul rasa sayang, layaknya terhadap anak sendiri.
Di rumahnya yang terbilang besar dan mewah, Arman tinggal seorang diri. Pulang kerja, Arman menonton TV atau kadang membuka internet. Disebelahnya ada rumah Marni, kakak perempuannya yang mempunyai dua putra, Wildan dan Gilang, yang masih duduk di kelas V SD dan kelas 3 SMP. Pernah Marni menyarankan Arman agar mengangkat salah satu putranya sebagai anak. Hampir saja, Arman dan istrinya, yang saat itu masih hidup, menerima saran itu. Tapi belakangan, Arman tahu niat dari kakaknya, yang mengharapkan warisannya jatuh ke anaknya.
Arman sering memikirkan Nicko. Bagaimana masa depannya. Timbul keinginan dalam hatinya untuk bisa membantu Nicko.
Siang ini jam istirahat. Biasanya ada catering yang datang. Tapi hari ini Arman ingin makan di luar. Ingin ganti menu makanan. Sedang enak-enaknya makan, datang pengamen kecil itu, membawakan sebuah lagu.
“Kamu kok ngamen, tidak sekolah?” Tanya Arman.
Nicko mengeleng.
“Kenapa?”
“Saya harus mengumpulkan uang yang banyak untuk
biaya adik di rumah sakit.”
“Adikmu di rumah sakit?”
Nicko mengangguk.
“Boleh, kalau Om menjenguk adikmu?”
Nicko mengangguk.
“Tapi om sedang kerja. Bagaimana kalau nanti pulang
kerja kamu kesini, lalu kita menjenguk adikmu bersama.”
Untuk kesekian kali, Nicko mengangguk.
“Kamu tentu belum makan. Makan dulu, ya…..”
Nicko mengangguk lagi.
Kamu dari tadi kok mengangguk-angguk terus? Mbok
sekali-kali bicara.” Kata Arman sambil tertawa.
“Iya, Om….terima kasih banyak…”Jawab Nicko sambil
tersenyum malu.
Arman segera memesan makanan. Setelah makanan datang,
Arman menyuruh Nicko agar memakannya. Dengan lahapnya Nicko menyantap makanan
itu.
Pulang kerja Arman sudah ditunggu Nicko di kantin tadi. Mereka segera berangkat ke rumah sakit. Disana Arman mendapati keadaan keluarga Nicko. Kedua adiknya juga kedua orang tuanya kurus tampak tidak sehat. Semua biaya rumah sakit ditanggung Arman.
Sejak itu Arman mengangkat Nicko jadi anak asuh. Arman memberikan uang sebulan sekali untuk memenuhi segala kebutuhan sehari-hari dan sekolah Nicko, dan Nicko diminta untuk berhenti mengamen. Sebulan dua bulan Nicko memang berhenti mengamen tapi bulan ketiga dia mengamen lagi. Bagaimanapun juga keadaan keluarga yang sangat kekurangan membutuhkan uluran tangan Nicko dari hasil mengamen. Walaupun salah satu anaknya, yaitu Nicko sudah dipenuhi segala kebutuhannya oleh Arman, tapi kebutuhan hidup kedua orang tua dan kedua adiknya masih besar. Kalau hanya mengandalkan penghasilan kedua orang tuanya sebagai pemulung, masih jauh dari cukup. Arman menambah uang bulanannya. Tapi tetap saja mereka merasa kurang. Hal itu berlangsung selama setahun. Sampai Nicko naik ke kelas VI.
Menghadapi hal yang demikian, Arman mulai berpikir bahwa keluarga Nicko merupakan keluarga yang tidak punya rasa syukur. Berapapun dibantu, mereka tetap saja merasa kurang. Akhirnya Arman memutuskan untuk berhenti memberi bantuan pada mereka.Tapi keputusan itu membuat hidupnya tidak tenang. pikirannya selalu tertuju pada Nicko. Apakah Nicko akan melanjutkan ke SMP? Kalau tidak, bagaimana masa depannya? Memikirkan hal itu membuatnya tak bisa hidup tenang. Dia merasa seperti makan buah simalakama. Tidak dibantu kasihan, dibantu mereka tidak ada rasa terimaa kasihnya, merasa kurang terus. Dikasih hati malah minta rempela. Serba susah. Tapi kesibukan di kantor membuatnya dapat melupakan Nicko.
Hari ini Arman memutuskan ke kantor naik bis. Agar dapat berbaur dengan segala lapisan masyarakat. Saat masih duduk di atas bis, yang kebetulan tidak terlalu padat, ada pengamen kecil yang menyanyikan lagu dangdut diiringi ecek-ecek. Tidak salah lagi, itu suaranya Nicko. Banyak menumpang yang marah-marah pada Nicko. Dengan alasannya kehadirannya menambah sesak bis. Banyak dari mereka yang tidak memberi uang. Saat Nicko melintas disampingnya Arman langsung menyambar tangannya dan mencegahnya turun. Arman ingin bicara.
Di halte depan kantor Arman, mereka turun. Masih pagi. Masih ada waktu sekitar 30 menit bagi Arman untuk bicara dengan Nicko.
“Sepagi ini kamu sudah
mengamen, kamu tidak sekolah?” Tanya Arman sambil mmenatap Nicko tajam.
Nicko menunduk sambil
mengeleng.
“Kenapa?”
“Sama Bapak dan Emak
tidak boleh. Saya disuruh cari uang sebanyak-banyaknya.”
“Lalu sekolah kamu,
bagaimana?”
“Kata Bapak tidak usah
sekolah, hanya buang-buang duit. Paling besarnya mau jadi apa?”
“Kok aneh….? Itu kan
demi masa depan kamu?”
“Kata Bapak, aku harus
menganti duit mereka yang telah digunakan untuk makan saya selama ini.”
“Kok kasih makan anak
sendiri, minta diganti?”
“Kata Emak, saya bukan
anak kandung mereka.”
“Kalau bukan anak
kandung mereka, lalu siapa orang tua kandung kamu?”
“Saya tidak tahu, Bapak
bilang menemukan saya di samping tempat sampah.”
Ya Allah…pantas saja
mereka tidak menyayanginya. Berapapun uang yang saya berikan, mereka tetap saja
kekurangan, tetap menyuruh Nicko mengamen. Kata Arman dalam hati.
“Kamu sudah sarapan?”
tanya Arman.
“Belum. Belum dapat
duit.”
“Ya sudah kamu sarapan
dulu di kantin langanan Om. Ayo….”
Arman mengajak Nicko ke kantin langanannya, memesankan makanan, membayarnya, dan menyuruh Nicko untuk makan. Selesai makan, Nicko harus tetap disitu, menunggu Arman. Nicko mengangguk sambil tersenyum senang. Nampaknya dia sangat senang dengan pertemuan itu. Arman menitipkan Nicko pada pemilik kantin. Selesai makan Nicko keluar kantin tapi dia hanya berdiri di situ sambil mengamati sekeliling.Dengan sabar Nicko menunggu Arman istirahat.
Saat istirahat Arman ngobrol dengan Nicko sambil makan siang. Arman memutuskan untuk mengangkat Nicko jadi anaknya dan mengajaknya tinggal bersama. Nicko sangat senang. Mereka segera menemui orng tuanya Nicko. Kedua orangnya merelakan Nicko diasuh Arman dengan imbalan uang sepuluh juta.Arman bersedia.
Keesokan harinya Arman menjemput Nicko. Mampir supermarket, membeli segala kebutuhan Nicko. Dari tas, sepatu sampai pakaian. Sejak itu mereka tinggal serumah.Arman menyulap kamar tengah menjadi kamar untuk Nicko. Membelikan meja belajar, rak buku, lemari khusus untuk pakaian Nicko.
Begitu sampai di rumah, Arman mengajak Nicko ke rumah sebelah, yang merupakan rumahnya Mirna.
“Mbak, kenalkan ini Nicko.
Yang tempo hari sudah pernah aku ceritakan.Ayo Nicko, salim sama Budhe.”
“Oh ini….anak angkat
kamu?” Jawab Mirna, mengacuhkan uluran tangan Nicko.
Arman hanya
geleng-geleng kepala sambil memanggil Wildan dan Gilang agar berkenalan dengan
Nicko. Saat berkenalan langsung terlihat kalau Gilang tak suka, sedangkan
Wildan langsung terlihat akrab. Mungkin karena mereka sebaya. Nicko sendiri
merupakan anak yang supel, mudah menyesuaikan diri. Mereka langsung akrab.
Bermain di halaman.
“Kenapa kamu jadi
mengangkat, dia? Bukankah aku sudah bilang, kamu dapat mengangkat salah satu
anakku.” Kata Mirna dengan wajah kecewa.
“Beda
mbak. Kalau mengangkat Wildan atau Gilang, aku tak dapat mengangkat mereka
sepenuhnya. Mereka pasti sering pulang ke mbak. Paling-paling aku nambahi uang
jajan.” Kata Arman sambil tertawa.
Tapi
Mirna tidak tertawa. Dia terlihat sangat kesal. Gagal sudah keinginannya untuk
menguasai harta Arman. Saat Dea, istrinya Arman meninggal, ada secerca harapan
untuk menguasai hartanya. Tapi kedatangan Nicko menjadi penghalang harapan itu.
Nicko harus dilenyapkan. Entah bagaimanapun caranya Nicko harus dilenyapkan.
Bahasa wajah Mirna tak terlepas dari pengamaatan Arman. Dia tahu kalau
Mirna tak menyukai kehadiran Nicko. Dan
Arman juga tahu kalau Mirna banyak akal untuk dapat mewujudkan keinginannya.
Habis sholat Subuh Arman kekamar Nicko, bermaksud membangunkannya. Tapi ternyata Nicko tak ada di kamar. Arman panik.
“Nicko! Kamu dimana?”
Arman panik.
“Iya Ayah. Nicko
disini.” Jawab Nicko muncul dari ruang depan sambil membawa sapu.
“Oh…disitu. Kamu
darimana? Kok bawa sapu?”
“Dari ruang depan.
Ayah. Menyapu.”
“Kamu sepagi ini sudah
menyapu?” Arman terlihat heran.
“Iya Ayah. Ini sudah
selesai. Ayah mau dibuatkan kopi? Atau teh manis?”
Arman tertawa terharu
sambil mengacak-acak rambut Nicko. “Memangnya kamu bisa membuat kopi atau teh?”
“Bisa. Saya dulu kan
pernah kerja di warung nasi.”
“Oh…pengalaman hidupmu
banyak juga, ya…?”
“Iya. Oh ya, jadi kopi
atau teh?”
“Tidak usah. Kamu beli
sarapan saja, itu di warung depan. Gorengan atau nasi, terserah kamu.. Ayah
yang bikin minumnya. Kamu mau kopi atau teh manis?”
“He he he teh manis
saja. Ayah sarapannya mau lauk apa?”
“Oseng-oseng saja. Kamu
terserah mau lauk apa. Ayah ambilkan uang dulu, ya…”
Arman masuk kamarnya
mengambil uang. Nicko menaruh sapu di belakang, dan menunggu Arman di depan
kamarnya.
“Ini uangnya. Ayah lauknya oseng-oseng, kamu
terserah. Telur boleh, sate juga boleh…” Kata Arman sambil menyodorkan uang.
“Memangnya pagi-pagi ada sate?”
“Biasanya ada. Sate telur puyuh. Kamu mau?”
“Aku lauk oseng-oseng saja. Sama gorengan ya, Ayah?”
Kata Nicko penuh semangat.
Arman mengangguk sambil tersenyum lebar. Nicko
buru-buru ke warung depan, beli sarapan.
Sepeninggalan Nicko, Arman segera membuat minuman, dua cangkir teh manis, dan menghidangkannya di meja makan. Nicko datang, dan mereka segera sarapan bersama. Melihat Nicko sarapan dengan begitu lahapny Arman merasakan kebahagian tersendiri.
“Baru sekarang saya
merasakan sarapan. Terima kasih, Ayah…” Kata Nicko tersenyum gembira.
“Kamu tak pernah
sarapan?” Tanya Arman heran.
“Kalau mau berangkat
sekolah, saya minum air putih sebanyak-banyaknya sampai kenyang. Kalau udah
pulang sekolah, saya langsung mengamen. Kalau udah dapat uang, baru bisa beli
makanan.” Kata Nicko masih dengan senyum ceria.
“Orang tuamu tak pernah
beli sarapan?”
“Kalau beli dua. Satu
buat bapak berdua dengan adik pertamaku, satunya lagi buat mamak bareng adikku
yang kecil.”
“Dan kamu tidak
dikasih?”
Nicko mengeleng sambil
tersenyum." Kata bapak, adik-adik masih dalam masa pertumbuhan jadi butuh makan
yang banyak.”
“Kamu juga masih dalam
masa pertumbuhan."
“Kata bapak, saya sudah
besar, sudah bisa menahan lapar.”
“Kedua orang tuamu
lebih besar dari kamu, tapi kenapa mereka dapat makan?”
“Karena mereka mau
bekerja berat. Keliling kemana-mana mencari rongsok. Sedangkan saya kan cuma
duduk manis di kelas. Begitu kata bapak….”
Arman sangat terenyuh
mendengar cerita Nicko.
“Ya sudah……yang penting
sekarang kamu bisa sarapan. Nanti di sekolah belajar yang bener…biar pintar.”
Kata Arman sambil mengelus rambut Nicko.
“Iya Ayah…terima kasih
banyak atas sarapannya.”
“Iya. Ini semua karena
karuniaNya….Allah yang telah memberi kita rejeki, sehingga kita bisa menikmati
sarapan ini. Ini minummu. Tadi Ayah yang buat lho.”
“Pasti enak buatan
Ayah.”
“Ya pasti….kan Ayah
membuatnya dengan penuh rasa sayang….” Kata Arman sambil tersenyum.
“Iya. Saya juga sangat
menyanyangi Ayah. Sampai kapanpun saya tak akan melupakan kebaikan Ayah. Apapun
akan saya lakukan demi kebahagiaan Ayah.”
“Kamu tahu apa yang
bisa membuat Ayah bahagia?”
Nicko mengeleng.
“Kamu sekolah yang
pinter. Ayah akan membiayai sekolahmu setinggi mungkin. Biar kamu bisa jadi
orang sukses dunia dan akherat. Kalau sudah sukses jangan sombong, selalu
membantu orang yang tak mampu. Oke….”
“Oke….”
Setelah menyelesaikan sarapannya mereka segera siap-siap. Saat mau diantar ke sekolah, Nicko tidak mau. Dia memilih untuk naik angkutan.
“Kamu mau naik
angkutan? Apa kamu, bisa?” Arman tampak ragu.
“Ayah lupa. Kalau aku
biasa keliling kota saat mengamen…” Jawab Nicko sambil tertawa geli.
“Oh, ya. Ayah lupa. Kalau
begitu kita berangkat bareng, nanti sampai perempatan lampu lalu lintas kamu
naik angkot ke sekolah.Ayah langjut kekantor ya?” Kata Arman
Mereka berangkat bareng
naik mobil Arman. Nicko duduk disamping Arman. Selama dalam perjalanan mereka
ngobrol. Arman berniat memasukan Nicko ke les bimbingan belajar agar prestasinya
bagus sehingga bisa diterima di SMP favorit. Nicko terlihat sangat gembira.
Pulang kerja Arman memenuhi janjinya untuk mendaftarkan Nicko ke bimbingan belajar. Mengetahui hal itu Marni juga ingin agar Wildan ikut mendaftar. Berangkatlah mereka berempat. Marni ikut dengan alasan agar tahu tempatnya sehingga mudah saat mengantar Wildan les.
Sejak itu seminggu 3 kali, tiap pukul 14.00-15.00 Nicko dan Wildan ikut bimbingan belajat. Wildan selalu diantar-jemput Marni, sedangkan Nicko naik angkutan. Sebenarnya kalaupun Nicko ikut membonceng sekalian juga masih longgar, toh badan Nicko dan Wildan kurus-kurus. Tapi Marni keberatan bila harus memboncengkan Nicko. Dan Nicko sendiri lebih enjoy bila naik angkot.Justru Wildan yang ikut – ikutan ingin naik angkot. Tadinya Marni keberatan tetapi karena Wildan memaksa akhirnya Marni mengijinkan
Pulang kerja Arman berniat mengumpulkan pakaian kotornya untuk dibawa ke laundry. Tetapi tak menemukan ditempat biasanya.
“ Kemana, ya….” Kata Arman
kebingungan.
Dari dalam kamar mandi
terdengar seperti suara orang menyikat.Dengan rasa penasaran Arman mendekati
kamar mandi dan mengetuk pintunya.
“Siapa didalam” Tanya
Arman.
“Saya Ayah…..” Jawab
Nicko dari dalam kamar mandi.
“Sedang apa kamu di
dalam?”
Nicko membuka pintu
kamar mandi. Arman melihat ke dalam dan terkejut melihat Nicko sedang mencuci
bajunya.
“Oh…kamu mencuci baju
Ayah? Pantas saja Ayah cari-cari tidak ketemu.”
“Ayah mau mencuci baju
Ayah”
“Bukan mau cuci, tapi mau
Ayah bawa ke laundry….Tapi kok sedang kamu cuci…”
“Iya Ayah….sudah hampir
selesai. “
“Oh…begitu? Ya sudah.
Selesaikan dulu……nanti kita bicara sambil nonton TV.”
“Baik Ayah….”
Arman meninggalkan
Nicko, menuju ruang tengah.
Selesai menjemur cuciannya Nicko menemui Arman.
“Dimana kamu menjemur cucian?” Tanya Arman, begitu
melihat Nicko duduk di sebelahnya.
“Di tempat jemuran
milik Budhe Mirna.” Jawab Nicko.
“Maksudnya kamu
pinjam?”
“Iya. Ayah kan tak
punya tempat jemuran.”
Arman tertawa. “Ayah
tidak pernah mencuci, jadi ya buat apa beli tempat jemuran.”
“Lha kalau saya mau mencuci baju Ayah, saya
mau jemur dimana? Apa mau pinjam punya Budhe Marni terus?.”
“Maksudnya kamu yang
mau mencucikan baju Ayah?”
Nicko mengangguk-angguk
sambil tertawa.
“Kamu yakin, kalau
cucianmu bersih?”
“Saya tidak yakin
cucian saya bersih. Tapi saya yakin kalau baju ayah tidak kotor. Paling-paling
kotor di kerah baju dan keringat. Tinggal direndam nanti juga mencuci sendiri.”
Arman tertawa geli.
“Pintar juga kamu.”
“Makanya, mulai besok
biar saya yang mencuci baju Ayah. Insya Allah bersih.”
“Menurut Ayah, kamu
masih terlalu kecil untuk mencuci baju.”
“Nggak apa-apa Ayah.
Saya sudah biasa melakukan hal itu.”
“Masa?! Memang bajunya
siapa yang kamu cuci”
“Punya keluargaku yang
dulu. Punya bapak, emak juga kedua adikku.”
“Kamu yang mencuci
baju-baju mereka semua” Tanya Arman keheranan.
“Iya. Makanya kalau
cuma mencuci baju Ayah sih kecil…..”
“Kalau begitu, besok kita beli mesin cuci dan
tempat jemuran. Oke….?”
“Oke.”
Semenjak itu baju-baju Arman dicuci Nicko, mengunakan mesin cuci. Nicko pula yang menyapu rumah juga mencuci piring. Hampir semua pekerjaan rumah dikerjakan Nicko Kecuali memasak. Untuk makanannya mereka beli di warung nasi.
Namun ternyata, walaupun
Nicko sangat rajin, Marni tetap tidak menyukai kehadirnnya. Arman sudah tahu,
sejak pertama kali kedatangannya, Nicko sudah tidak disukai oleh Mirna dan
Gilang. Bukan hal aneh kalau berkali-kali mereka memfitnah Nicko. Nicko
dikatakan memecahkan kaca jendela, mengobrak-abrik seprei tempat tidur Arman
bahkan mencuri uang Arman. Tapi Arman sudah tahu sifat mereka jadi tak begitu
mudah percaya omongan mereka. Dan kalau ada segala omongan Mirna dan Gilang mengenai
Nicko, Arman selalu menanyakan kebenarannya
pada Wildan. Karena hanya Wildan yang suka dengan kehadiran Nicko. Dan Wildan
akan menjawab hal yang sebenarnya, walaupun hal itu menyakitkan hati kakak dan
ibunya. Namun ternyata sikap Wildan tidak membuat mereka kapok. Mereka tetap
saja berulah dan mencari berbagai alasan untuk mefitnah Nicko. Walaupun Nicko
terlihat tegar namun Arman tidak tega juga.
Malam itu Arman sedang baca Koran, Nicko disampingnya sedang mengerjakan pr. Nicko tampak sudah menyelesaikan pekerjaannya dan ikut-ikutan membaca koran.
“Kamu sudah
menyelesaikan pr-mu?” Tanya Arman sambil meletakkan korannya.
“Iya,Yah…..”Jawab Nicko
sambil merapikan bukunya.
“Begini Nicko…Ayah itu
kasihan melihat kamu selalu dicari-cari kesalahan sama Budhe juga Gilang”
“Nggak apa-apa Ayah.
Yang penting Ayah percaya saya.”
“Ayah percaya padamu,
tapi Ayah juga nggak tega melihat perlakuan mereka terhadapmu. Makanya Ayah
punya ide…bagaimana kalau lulus SD nanti, kamu Ayah masukan ke Pondok
Pesantren?”
“Mau Ayah….mau banget.”
Nicko terlihat sangat gembira.
“Tapi kamu menginap
disana. SMP kamu disana juga. Seminggu atau sebulan sekali Ayah menjemput kamu
untuk berlibur di rumah. Bagaimana?”
“Bearti saya nggak
tinggal bareng Ayah?.”
“Iya. Kalau kamu
disini, kamu sering diperlakukan tidak baik sama Budhe Marni dan Gilang. Ayah
tak rela.”
“Tapi saya nggak
apa-apa kok Ayah. Yang penting saya selalu bersama Ayah.”
“Ayah juga maunya
selalu bersamamu.”
Hening sejenak. Mereka
sibuk dengan pikirannya masing-masing
“Saya nurut Ayah aja.
Apa yang menurut Ayah baik. Saya nurut aja.”
“Ayah mau kamu pintar
dalam akademi juga dalam agama.”Kata Arman sambil mengelus elus rambut Nicko.
Nicko hanya tersenyum sambil menatap Arman.
Seperti rencana Arman sebelumnya. Setelah lulus SD Nicko dimasukkan ke pondok pesantren. Seminggu sekali Arman menjenguknya, kadang-kadang diajak pulang.Setelah Nicko di pondok pesantren, Mirna dan Gilang tak bisa lagi mencari-cari kesalahannya. Antara Arman dan Marni juga menjadi jarang komunikasi. Lebih parahnya lagi, Arman menjadi punya kebiasaan pulang malam. Kalau pulang kerja mampir dulu, entah dimana, dan pulangnya larut malam. Marni sering mengetahui hal itu dan sudah mencoba menasehati namun Arman cuek saja.
Marni merasa kehilangan sosok Arman yang dulu. Arman yang sangat perhatian pada kedua putranya. Menjatah uang saku yang diberikan seminggu sekali. Kadang juga mengajaknya jalan-jalan. Saat ada Nicko kebiasaan itu juga masih dilakukan. Tapi setelah Nicko tidak ada, kebiasaan itu hilang semua. Bahkan semangat hidup Armanpun terasa hilang. Marni ingin mengembalikan itu semua, tapi bagaimana caranya? Lebih parahnya lagi, Wildan dan Ayahnya sering menyalahkannya.
Memang
sejak Nicko masuk pondok pesantren, Arman jadi sering keluar rumah dan pulang
larut malam. Dulu Arman sering ngobrol-ngobrol dengan Nicko, membantunya
mengerjakan pr. Nonton TV bareng, kebetulan acara yang disukai sama. Mereka
begitu akrabnya layaknya anak dan ayah.
Tapi sekarang Arman merasa kesepian. Dan pelampiasannya keluar malam.
Hatinya juga kecewa terhadap Marni dan Gilang. Sehingga menjadi tidak respek
pada mereka. Lama kelamaan Arman merasa panas tinggal di rumah sendiri.
Akhirnya Arman mencari kontrakan yang dekat dengan pondok pesantren tempat
Nicko mondok. Sehingga kalau malam Nicko pulang ke kontrakan Arman. Mereka
tinggal bersama lagi. Kebahagian tiara tara bagi mereka berdua. Mereka bisa
tinggal bersama dengan tentram tanpa terganggu segala daya upaya dan
fitnah-fitnah Marni dan Gilang.
Arman sudah tidak memperdulikan rumahnya lagi. Semua pakaian dan peralatan rumah tangga dibawa ke kontrakan. Mereka menganggap kontrakan itu sebagai rumah barunya. Berangkat dan pulang kerja Arman selalu ke kontrakan itu.
Arman sudah tidak memperdulikan rumahnya lagi. Semua pakaian dan peralatan rumah tangga dibawa ke kontrakan. Mereka menganggap kontrakan itu sebagai rumah barunya. Berangkat dan pulang kerja Arman selalu ke kontrakan itu.
Agus, suaminya Marni sedang baca Koran. Wildan dan Gilang bermain catur dilantai, dekat kursi tempat duduk Agus. Marni keluar dan melongokan kepala kearah rumah Arman.
“Kenapa?
Kamu mencari Arman?” Tanya Agus sambil menurunkan Koran yang dibacanya.
“Iya.
Beberapa hari ini, saya tidak melihat dia.” Jawab Marni.
“Mungkin
Om Arman, udah nggak akan pulang kesini lagi. Mungkin udah beli rumah baru.Mama
sich…..Suka jahat sama Nicko.” Kata Wildan
“Benar kata Wildan.Memang kamu keterlaluan terhadap
Nicko.” Kata Agus menambahkan.
“Maksudku,
buat apa Arman mengangkat anak? Kan ada .anakku? Tinggal angkat mereka saja.”Kata
Marni membela diri.
“Ya
beda lah….Memangnya Mama boleh kalau salah satu anak kita diangkat anak oleh
Arman?” Tanya Agus serius.
“Ya
boleh saja…..kebutuhan sekolah mereka dibiayai Arman."
“Namanya
anak. Segala kebutuhan dicukupi orang tuanya, tapi tinggal dan makan juga
bareng orang tuanya. Kamu boleh, kalau Wildan atau Gilang tinggal bareng dengan
Arman? Benar-benar diangkat anak oleh Arman?”
Marni
hanya diam.
“Iya
Ma….kalau saya yang jadi anaknya Om Arman, maka saya akan tinggal bareng Om
Arman. Apa-apa bareng Om Arman. Ke rumah Mama hanya kadang-kadang.
Begitu….Kalau besok saya udah kerja, duitnya juga saya kasihkan Om Arman….”
Kata Wildan.
“Betul
kata Wildan. Ya selayaknya anak terhadap orang tua.” Kata Agus
“Maksudku
ya bukan begitu. Tapi ikut membiayai, ikut mengasuh, begitu…”Kata Marni membela
diri.
“Ya
itu enak di kamu nggak enak di Arman…Namanya kamu egois.”
“Kalau
anak itu seperti Nicko. Membersihkan rumah, kadang mencucikan baju Om Arman.
Tapi semua kebutuhannya dipenuhi Om Arman.Begitu Ma….”Kata Wildan lagi.
“Kalau
menurutku sich bener Mama. Buat apa Om Arman mengangkat Nicko. Kan ada aku juga
Wildan. Tinggal pilih salah satu” Kata Gilang.
“Kakak
mau kalau ternyata Om Arman memilih
kakak jadi anaknya?” Tanya Wildan.
“Ya
mau saja. Tiap hari dikasih uang jajan. Diajak jalan-jalan…..Om Arman duitnya
kan banyak.” Jawab Gilang santai.
“Tapi
kakak juga harus menyayangi dan menghormati om Arman selayaknya orang
tua.Tinggal serumah. Kalau om Arman sakit, kakak yang belikan obat. Ya…pokoknya
selalu siap melakukan apapun demi Om Arman. Seperti yang dilakukan Nicko.Kakak
mau?”
“Ya….nggak
mau lah..Aku maunya kalau dikasih duit. Diajak jalan-jalan.”Jawab Gilang.
“Kalau
Wildan yang dipilih Om Arman. Wildan mau melakukan seperti yang dilakukan
Nicko?” Tanya Agus
.”Mau
Papa! Wildan akan menyayangi Om Arman seperti orang tua sendiri dan akan
tinggal bareng dengan Om Arman. Pokoknya seperti Nicko deh…” Jawab Wildan
mantap.
“Bagaimana,
Ma? Kamu boleh kalau Wildan yang diangkat anak Arman? Dan Wildan akan melakukan
seperti yang dilakukan Nicko. Kamu boleh…?”
“Ya
nggak…Aku boleh kalau Arman ikut membayai segala kebutuhan Wildan. Bagitu
saja.”Jawab Marni.
“Itu
namanya Mama egois.” Jawab Agus tegas.
“Makanya…biarkan
Arman mengangkat Nicko jadi anaknya. Kulihat Nicko anak yang baik. Dia sangat
hormat dan menyayangi Arman.” Kata Agus.
“Nicko
juga sangat rajin, Pa. mencucikan baju Om Arman. Menyapu juga mengepel rumah
sampai bersih, kinclong…Bahkan masak juga. Pokoknya semua pekerjaan rumah.
Wah…Nicko hebat sekali.” Kata Wildan.
“Iya.
Beda sekali dengan kamu.” Kata Gilang sambil tertawa.
“Apa
lagi sama kakak. Sangat bertolak belakang. Ha..ha..ha..”Jawab Wildan tak mau
kalah.
“Kalian
berdua bisanya kan makan dan main game.”Kata Agus sambil tertawa.
“Ada
lagi Pa. Belajar….”Jawab Wildan
“Masa….?
Nggak salah tuh?”Jawab Agus meledek.
“Belajar,
paling-paling kalau ada pr. Jadi bukan belajar tapi mengerjakan pr.” Kata
Gilang meledek.
“Lihat
Ma….Nicko anak yang baik. Nggak salah kalau Arman sangat menyayanginya layaknya anak sendiri. Kamu lihat. Arman rela
meninggalkanmu demi Nicko. Bearti Arman lebih menyayangi Nicko daripada kamu.”
Kata Agus.
“Mungkin
kalau sayang masih sayang sama Mama. Cuma Mama kan jahat. Jadi Om Arman lebih
membela Nicko. Begitu…..”Kata Wildan.
“Wiih….sok
dewasa kamu.”Kata Agus sambil tertawa.
“Memang
Mama dan kak Gilang suka menfitnah Nicko kok Pa. Wildan juga sangat nggak suka
sama kelakukan mama dan kak Gilang.” Kata Wildan.
“Lha
itu Ma….anak kamu sendiri tidak menyukai kelakuanmu terhadap Nicko.”Kata Agus.
“Iya
ya Pa….Mama kan cuma berpikir, bagaimana caranya agar nggak jadi mengangkat
Nicko dan mengangkat salah satu anak kita.”Jawab Marni pelan.
“Tapi
tadi kamu bilang, kalau salah satu anak kita diangkat anak dan melakukan
seperti yang dilakukan Nikco, kamu tidak boleh….”Kata Agus penuh wibawa.
"Iya
Ma…mama harus bisa menerima Nicko sebagai anaknya om Arman, itu kalau Mama
nggak mau kehilangan om Arman.” Kata Wildan.
“Betul
kata Wildan, Ma….Kamu harus bisa menerima kehadiran Nicko.” Kata Agus.
“Tapi
kalau Mama menerima Nicko. Sama artinya Mama membiarkan kekayaan Om Arman jatuh
ke Nicko. Itu kata Mama…..”Kata Gilang.
“Betul
Mama bilang begitu?” Tanya Agus pada Marni.
“Betul
Pa….Arman kan sukses. Tabungannya banyak…biarlah tabungannya jatuh ke tangan
salah satu anak kita.” Jawab Marni ketakutan.
“Mama…mama…ternyata
kamu kok punya pikiran sepicik itu…Papa sama sekali tak menduga.” Kata Agus
kecewa.
“Iya
Pa…sama sekali mama tak terpikir akan seperti ini jadinya.”Jawab Marni pelan.
“Ya
udah….yang penting….Mama sudah bisa menerima kehadiran Nicko. Iya kan, Ma?”
Tanya Agus.
“Iya
Pa….kalau memang itu yang bisa membuat Arman bahagia, Mama iklas.”Jawab Marni.
“Asyik….!
Nicko mau disini lagi…..Saya ada teman…”Kata Wildan kegirangan.
“Lihat.
Wildan juga senang dengan kehadiran Nicko.” Kata Agus.
“Iya
Pa….” Jawab Marni pelan.
“Lagipula,
Arman telah melakukan hal yang mulia, membantu anak yatim piatu, mengangkat
jadi anak, membiayai segala kebutuhannya. Itu kan perbuatan yang sangat mulia,
harusnya Mama mendukungnya….”Kata Agus.
“Betul
itu. Apalagi Nickonya tahu diri. Dia sangat berbaksi pada Om Arman….”Kata
Wildan menambahkan.
“Tapi
sekarang semua sudah terlambat. Kita nggak tahu Om Arman dan Nicko ada dimana?”
Kata Gilang
“Iya
ya…..Mama sudah menelpon Arman?” Tanya Agus.
“Sudah.
Tapi nggak pernah nyambung….sepertinya ganti kartu.” Jawab Marni.
“Itu
tandanya Arman tak mau bicara dengan Mama.” Kata Agus lagi.
“Mungkin…..”Jawab
Marni lesu.
“Bukan
mungkin lagi. Tapi memang begitu. Itu semua akibat dari kelakuan Mama
sendiri….”Kata Agus.
“Iya….semua
itu salah Mama. Mama minta maaf ya Pa….”Kata Marni.
“Minta
maafnya sama Om Arman dong Ma…..masa sama Papa…..?” Kata Wildan sambil tertawa.
“Iya….Mama
lucu….”Kata Gilang menambahkan.
“Oke…Mama
mau minta maaf sama Arman. Tapi bagaimana caranya? Kita kan nggak tahu Om Arman
ada dimana?” Kata Marni.
“Kita
lapor aja ke kantor polisi…berita kehilangan.”Usul Gilang.
“Betul
itu, Pa….”Marni setuju usul Gilang.
“Ya
nggak segampang itu…” Jawab Agus.
“Lalu
gimana, Pa….”Tanya Wildan
“Coba
besok Papa ke kantornya Om Arman, ya…..” Kata tAgus.
“Iya
Pa….begitu aja…..”Kata Marni semangat.
Dua hari kemudian Agus menceritakan pertemuannya dengan Arman. Sekarang Arman mengontrak rumah dan tinggal bareng dengan Nicko. Tapi untuk sementara Arman tak bersedia memberitahukan alamat kontrakannya. Juga niat Arman untuk menjual rumahnya, untuk beli rumah baru.
Mendengar
keterangan Agus, Marni jadi merasa bersalah atas sikapnya selama ini. Terutama
sikapnya terhadap Nicko. Nicko anak yatim biatu yang perlu dibantu, tapi disaat
di angkat anak oleh Arman, Marni sangat tidak setuju karena takut harta benda Arman
jatuh pada Nicko. Keserakahan yang bukan pada tempatnya. Ingin memiliki harta
yang bukan haknya. Tapi bagaimana lagi. Kelihatannya Arman tidak mau bertemu
dengannya. Arman tidak memberi kesempatan untuk minta maaf.
Hari ini hari Minggu.Marni bangun kesiangan karena semalam tak bisa tidur, memikirkan keberadaan Arman. Saat menengok ke rumah Arman yang berada di sebelahnya, Marni melihat ada mobil milik Arman. Marni juga melihat Nicko sedang mengelap kaca jendela.
“Nicko!
Kamu disini?” Marni terlihat gembira.
“E…iya
budhe…” jawab Nicko sambil menghampiri Marni dan salim.
“Kapan
kamu datang?”
“Tadi
malam Budhe. Bareng sama Ayah.”
“Sama
ayah? Mana ayahmu? Budhe ingin bicara.”
“Ayah
di dalam…”
Tanpa menunggu kelanjutan perkataan Nicko, Marni setengah berlari masuk ke rumah Arman. Marni mendapati Arman sedang mengepel.
“Sedang
ngapain kamu?”
“Mbak
lihat sendiri, aku sedang mengepel. Lama tak dipel, banyak debunya.”
“
Kenapa nggak suruh Ela? Biasanya kan dia yang mengerjakan semua ini.”
“Mbak salah. Semenjak ada Nicko, biasanya
Nicko yang mengerjakan semua ini. Tapi sekarang kami bagi tugas, biar cepat
selesai.”
“Memangnya
kalau sudah selesai, kamu mau kemana?”
“Ke
rumahku yang baru. Disana kami bisa hidup bersama secara tentram tanpa diganggu
segala fitnah-fitnah.”
Marni tertegun. Nicko datang sambil membawa minuman dan cemilan.
“Silahkan
diminum Budhe….” Kata Nicko sambil meletakan minuman itu di meja. Dan keluar
ruangan.
“Makasih.”
Jawab Marni agak ketus.
“Kata-kata
yang keluar baik. Makasih….tapi nadanya kok ketus ya?” Kata Arman terlihat tak
suka.
“Apa rencana kamu selanjutnya?” Tanya Marni
pura-pura tak dengar perkataan Arman barusan.
“Mungkin
rumah ini akan aku jual.”
“Kamu
jual? Kenapa?”
“Tidak
apa-apa. Aku kan sudah punya rumah lain. Rumah dengan lingkungan yang baik.
Yang membuatku dan Nicko bisa tinggal serumah tanpa diganggu tetangga yang
usil.”
Agus masuk rumah, secara kebetulan mendengar pembicaraan mereka.
“Menurutku,
kamu terlalu tergesa-gesa mengambil keputusan Arman.”
“E…mas Agus. Mungkin
terlalu tergesa-gesa. Tapi aku sudah memikirkan matang-matang. Rencananya
uangnya mau aku belikan rumah di tempat lain. Aku sudah ada pandangan
rumahnya.”
“Jadi kamu mau
meninggalkan saudaramu satu-satunya? Tinggal jauh dari kami?” Tanya Agus.
“Iya
mas. Kupikir itu yang terbaik buatku juga Nicko.” Jawab Arman santai.
“Jadi demi Nicko, kamu
mau jual rumah ini? Mau tinggal jauh dariku?” Tanya Marni
“Iya, mbak. Demi
ketentraman hidupku juga Nicko.” Jawab Arman.
“Apa maksud
perkataanmu?”
Arman hanya diam sambil
melanjutkan pekerjaannya. Nicko masuk.
“Ayah, biar saya yang
melanjutkan mengepel. Silahkan kalau ayah ingin ngobrol-ngobrol dengan pakdhe
dan Budhe.” Kata Nicko sambil mengambil alat pel dari tangan Arman.
“Mbak lihat. Nicko ini
anak baik. Dia rajin juga sangat berbakti padaku. Mbak pikir aku mau
meninggalkan dia demi mbak?” Kata Arman.
“Tapi dia bukan
siapa-siapa. Kenapa kamu mati-matian membela dia?” Kata Marni
“Kata siapa bukan
siapa-siapa? Dia anakku!” Kata Arman mulai emosi.
“Ayo kita bicara di
luar….”Kata Agus sambil melangkah keluar.
Armand dan Marni
megikuti Agus keluar.
Nicko mengepel sendiri. Sejak tadi Nicko mencerna pembicaraa mereka.
“Ternyata Ayah memang
benar-benar menyayangi saya. Ayah sampai membeli ruamh baru agar bisa tinggal
bersama saya….terima kasih ayah….sampai kapanpun saya tidak akan pernah melupan
kebaikan ayah….” Nicko bicara sendiri penuh haru.
Diluar mereka bertiga bicara serius. Tak lama kemudian Arman masuk diikuti Marni, Agus, Wildan dan Gilang.
“Asyik…! Nicko mau tinggal
disini…!” Wildan berlari memeluk Nicko.
“Apaan ini?” Nicko
sangat kaget.
“Mama memperbolehkan
kamu tinggal disini…….kita bisa belajar bareng…..main bareng…..” Kata Wildan
bersemangat.
Nicko hanya memandang Arman.
“Iya Nicko……Budhe minta
maaf ya….selama ini Budhe sering berlaku kasar terhadapmu.” Kata Marni sambil
berjalan mendekati Nicko.
“Sama-sama Budhe….saya
juga minta maaf atas segala kesalahan saya selama ini.” Jawab Nicko.
“Aku juga minta maaf
ya……”Kata Gilang.
Nicko mengangguk sambil
tersenyum.
“Nah…..begitu…sama
saudara harus yang rukun….Kalau begini aku melihatnya kan seneng…..”Kata Agus
sambil tertawa.
Sejak itu sikap Marni dan Gilang terhadap Nicko sangat baik. Nicko yang pada dasarnya anak baik, sering membantu Marni. Kadang kalau menyapu halaman, halamannya Marni disapu sekalian. Sekarang mereka hidup rukun. Saling bantu dan saling jaga. Ternyata kerukunan dengan saudara menimbulkan ketentraman dalam hati. Marni jadi tidak gampang uring-uringan lagi. Hatinya terasa lebih damai.
SELESAI
Belum ada Komentar untuk "Anak Angkat (Sebuah Cerpen) By Ami Daria"
Posting Komentar