Pengemis Itu (Sebuah Cerpen) By Ami Daria
PlanetCerpen.com - Aku heran dengan bu
Intan. Beberapa hari ini dia selalu menanyakan pengemis itu. Pengemis yang jadi
langanan di Perumahan kami, tiap hari Senin dan Kamis. Aneh memang. Pengemis
kok punya langanan, seperti listrik atau penjual sayur saja.
Bu Intan merupakan
tetanggaku yang paling dekat. Ya dekat tempatnya, tepat di sebelah kananku,
juga dekat hatinya, dalam arti, kami akrab. Sudah sepuluh tahun dia menikah,
tapi belum juga dikaruniai anak. Dia
sudah mengikuti program hamil, melakukan berbagai saran orang agar cepat hamil.
Tapi semua itu nihil.
Sekitar dua bulan yang lalu, bu Intan sering curhat. Rencananya ingin mengangkat anak. Dia minta saranku. Sebaiknya mengangkat anak dari Panti Asuhan atau dari rumah sakit. Aku kurang setuju dengan keduanya. Kalau menurutku, lebih baik mengangkat anak dari saudara. Dia justru kurang setuju dengan usulku. Masalahnya banyak orang yang tak merelakan anaknya diminta orang lain, walau mungkin secara materi mereka kurang. Buktinya, tak ada seorangpun dari saudaranya yang merelakan anaknya diminta oleh bu Intan. Malah kata bu Intan, ada saudara yang anaknya enam, dengan selisihan usia dua tahun, secara ekonomi kurang karena pekerjaannya hanya kuli bangunan, dan istrinya jadi buruh cuci. Namun saat diminta salah satu anaknya. Mereka tidak memperbolehkan. Prinsipnya makan tidak makan asal ngumpul. Susah juga, ya…..? Lha sekarang kok tiba-tiba menanyakan pengemis itu, ada apakah gerangan? Apakah tertarik dengan balita yang selalu digendongnya?
Ini hari Kamis. Saatnya pengemis itu datang. Ku perhatikan bu Intan sudah duduk, menunggu di teras. Dia terlihat sangat gelisah Aku juga ikut-ikutan menunggu. Menunggu apa yang akan dilakukan bu Intan terhadap pengemis itu. Menjelang senja, bu Intan mendekatiku.
“Kok belum datang juga ya, bu?”
“Siapa bu? Pengemis
itu?”Tanyaku
Bu Intan mengangguk sambil duduk dikursi sebelahku. “Mungkin nggak datang….”Bu Intan mendesah.
“Mungkin sebentar lagi,
bu.” Kataku menghibur.
“Mungkin…tapi ini sudah
Ashar kok belum datang juga, ya?”
“Di tinggal saja bu.
Maksudku..kalau ibu mau beres-beres rumah atau apalah….toh pengemis itu pasti
memanggil-manggil ibu, dan tak akan pergi kalau belum dikasih duit.”
“Oh ya, ya? Betul juga
kata bu Erna….Lebih baik aku beres-beres di belakang dulu. Menunggu-nunggu
jadinya semua pekerjaan rumah terbengkalai….”Kata bu Intan sambil tertawa geli.
Kasihan juga aku pada bu Intan yang gelisah menunggu kedatangan pengemis itu.
Nah…akhirnya pengemis itu datang juga. Dia menuju ke
rumah bu Intan dan memanggil-manggil dengan suara memelas. Aku buru-buru
mengambil HP dan memfoto pengemis itu. Entah kenapa aku ingin mengabadikan pengemis
yang selalu mengendong balita itu. Sebenarnya balita itu tampan, kulitnya juga
bersih, tapi kok anak pengemis, ya? Setelah memfoto, aku duduk di teras sambil
mengamati, apa yang akan dilakukan bu Intan terhadap pengemis itu.
Tampak bu Intan keluar, dia tersenyum lebar. “Akhirnya
ibu datang juga…”Kata bu Intan dengan ceria.
“Ibu menunggu saya?” TanyaPengemis itu.
“Iya. Kenapa hari Kamis kemarin tak datang, bu?”
Tanya bu Intan dengan nada penasaran.
“Hari Kamis kemarin kan tanggal merah bu. Jadinya
saya nggak datang.”
“Oh….kalau tanggal merah prei, bu?”
Pengemis itu mengangguk Aku tertawa geli. Ternyata
kalau tanggal merah dia libur juga? Kok seperti pegawai?
“Sebentar ya bu….Saya ambil duit dulu.”Kata bu Intan
sambil masuk rumah.
Pengemis itu berdiri menunggu di halaman rumah. Aku juga ikut-ikutan menunggu di teras rumahku. Lima menit…..sepuluh menit….bu Intan belum keluar juga. Kenapa, ya? Apa dompetnya hilang? Atau kenapa? Pengemis itu sudah nampak gelisah.
“Permisi
bu…..permisi….” Kata pengemis itu, yang tampak tak sabar.
Pengemis itu
membalikkan tubuhnya siap untuk pergi, secara bersamaan bu Intan keluar dari
rumah.
“Tunggu sebentar bu.”
Kata bu Intan.
Pengemis itu menghentikan langkahnya dan menghadapi bu Intan.
“Maaf bu. Tadi menunggu lama, ya? Mari silahkan masuk bu. Kita bicara di dalam.”
Kata bu Intan.
“Waduh! Aku tak bisa
mendengar pembicaraan mereka dong…….” Kataku pada diri sendiri.
Pengemis itu tampak
ragu-ragu.
“Mari bu….”Kata bu
Intan mengandeng pengemis itu.
Secara
lembut mengemis itu menepis tangan bu Intan, dan melangkah masuk mengikutinya.
Aku hanya duduk menunggu. Masuk ikut nimbrung, malu. Kok ingin tahu urusan orang saja. Dua puluh menit telah berlalu. Kupikir lebih baik aku masuk rumah. Kok ingin tahu urusan orang saja. Tapi baru saja aku melangkahkan kaki ke pintu, kudengar pengemis itu marah-marah sambil keluar dari rumah bu Intan. Bu Intan mengikuti di belakangnya.
“Jangan menghina, ya!
Walau aku Cuma pengemis, tapi rumahku lebih besar dan bagus daripada rumah ibu.
Aku orang kaya, bu….!” Kata pengemis itu penuh emosi.
Kulihat bu Intan hanya
diam terpaku.
“Aku punya mobil. Sedangkan
ibu punya apa? Hanya motor buntut!” Kata pengemis itu lagi.
“Bu…bu…ada apa? Kok ibu
marah-marah?” Tanyaku dengan nada bicara selembut mungkin.
“Dia mau minta anakku?
Apa mampu dia kasih makan?” Katanya sambil menunjuk bu Intan.
“Insya Allah mampu,
bu….Tapi paling tidak, kalau dirawat bu Intan, anak ibu nggak diajak mengemis
bu. Panas-panasan…….Akan dirawat penuh kasih sayang.” Jawabku.
“Mending aku mengemis,
punya penghasilan sendiri, daripada ibu! Hanya duduk manis di rumah
mengandalkan suami.”Kata pengemis itu sambil ngeloyor pergi.
.Aku dan bu Intan saling pandang dan tertawa geli.
“Ternyata dia bangga
menjadi pengemis.”Kata bu Intan sambil tersenyum geli.
“Iya….” Kataku, ikut
tertawa geli.
“Bu. Aku pensaran ingin
mengikuti dia….”Kata bu Intan
“Aku juga. Ayo kita berboncengan.
Tapi kita menyamar bu…..biar nggak ketahuan.”
“Maksudnya menyamar,
gimana bu?” Tanya bu Intan penasaran
“Ya…pakai jaket, celana
panjang, helm juga masker to bu…masa pakai gamis begini…yaa pengemis itu tahu
dong…..”
“Oh…gitu? Oke, aku
paham. Aku ganti baju dulu, ya…..”Bu Intan tampak semangat.
Kami masuk rumah
masing-masing, untuk ganti baju.
Dengan berboncengan
motor kami menuju gang sebelah. Setelah
mencari-cari akhirnya kami menemukan pengemis itu sedang berdiri di sebuah
rumah. Kami memutuskan untuk menunggu di ujung gang. Beberapa saat kemudian,
pengemis itu keluar dari perumahan dan menuju ke pedesaan. Kami mengikutinya
terus. Saat dia naik angkut, kami juga mengikuti tak jauh dari angkot itu. Saat
angkot itu berhenti menunggu penumpang, kami belok ke sebuah warung yang jualan
bensin, beli bensin barang satu liter.
Pada desa yang lain kecamatan dengan tempat tinggal kami, dia turun pada sebuah gang. Kami berdua tertawa lega. Di depan gang kami menghentikan motor, dan mengamati dia dari kejauhan. Pengemis itu masuk ke sebuah rumah mewah yang dikelilingi pagar rumah yng cukup tinggi. Setelah melihat dia masuk dan ditunggu sampai lama tak keluar juga, kami memutuskan untuk melihat rumah itu dari dekat
Pagar tinggi itu digembok. Wah….rumahnya mewah juga.
“Gila. Sekaya ini dia
mengemis?” Kata bu Intan heran.
“Iya, ya? Padahal
mengemis itu kan bukan pekerjaan yang baik.”
“Kalau menurutku sih,
dia nggak perduli. Pekerjaan itu baik atau enggak….yang penting dia mendapatkan
uang.”
“Kasihan anaknya,
ya….?”
“Iya, ya…..? Bearti
bener kata dia. Rumah dia lebih besar dan lebih bagus daripada rumahku. Jadi
dia lebih kaya dibandingkan aku, dong…..”Kata bu Intan sambil tertawa geli.
Kami berdua tertawa geli sambil memperhatikan rumah itu dari depan pagar.
“Maaf bu…Ada keperluan
apa, ibu berdiri di depan rumah kami?”
Kami berdua sangat
kaget, ketika tiba-tiba di belakang kami ada dua orang menyapa dari dalam mobil.
“Maaf, kami penasaran
dengan pengemis itu.”Jawab bu Intan gugup.
“Pengemis?! Maksud ibu,
pemilik rumah ini, pengemis?” Tanya
lelaki setengah baya itu sambil keluar dari dalam mobil dan berjalan mendekati
kami.
Sementara perempuan yang duduk disebelahnya, yang aku perkirakan berusia 25 tahun, ikut keluar dengan wajah penuh tanda tanya..
“Iya. Dan aku bermaksud
mengangkat balita yang selalu diajak mengemis untuk jadi anakku.”Kata bu Intan,
masih terlihat gugup.
“Mengemis dengan
mengajak balita?”Tanya lelaki itu penasaran.
“Iya. Dia langanan
perumahan kami.”Kataku menyakinkan.
“Langanan apa, bu?”
Tanya lelaki itu.
“Langganan mengemis.
Tiap Senin dan Kamis. Tapi Kamis kemarin dia libur. Kalau tanggal merah dia selalu
libur mengemis….”
Mereka saling pandang, tak percaya.
“Ini ada fotonya.” Aku
menunjukan foto pengemis itu di HP.
Mereka memandang foto
pengemis itu dengan seksama.
“Maaf, bu…saya ingin lihat
lebih jelas.” Lelaki itu meminjam HPku.
Aku menyerahkan HPku sehingga mereka dapat mengamati foto itu secara lebih jelas.
“Kurang ajar ibumu,
ya…Anakku dibawa mengemis!”
“Maaf mas. Aku juga tak
menyangka ibuku akan berbuat seperti ini.” Kata perempuan itu.
“Terima kasih bu.”
Lelaki itu mengembalikan HPku.
“Iya. Sama-sama.”
Jawabku sambil menerima HPku.
“Memang dia anakku.
Cucu tiri ibumu. Tapi jangan kurang ajar begitu dong….Ibumu harus menerima
akibat dari perbuatannya.” Kata lelaki itu sambil masuk mobil.
Tanpa menunggu perempuan itu masuk mobil, lelaki itu langsung mengendarai mobilnya masuk pintu gerbang.
“Tunggu mas….Terima
kasih infonya bu!”Kata perempuan itu sambil berlari masuk pintu gerbang.
Aku dan bu Intan saling pandang.
“Berarti balita itu,
anak dari lelaki itu? Cucu tiri dari pengemis itu?” Bu Intan mencoba
menyimpulkan.
“Iya bu Intan….berarti
duda punya balita beristri gadis single. Terus ibu dari sang istri ikut tinggal
bareng dengan alasan untuk mengasuh anaknya.”
“Tapi ternyata anaknya
diajak mengemis….”Kata bu Intan menyambung omonganku.
“Iya betul. Itu namanya
nenek tiri yang…..”
“Kurang titik
titik….”Kata bu Intan sambil tertawa.
“Betul….Ya udah bu, ayo
kita pulang.”
“Nanti dulu. Aku ingin
tahu kejadian selanjutnya.”Kata bu Intan penasaran.
“Ya…kita nggak bakalan
tahu lah bu….kejadiannya kan di dalam rumah. Sementara kita di luar pintu
gerbang…..atau kita mau nekat msuk?”
“Ya nggak lah….emangnya
kita, siapa?”
“Itulah….ayo bu…”Kataku
sambil naik jok motor.
“Kupikir….balita itu
akan kuangkat anak. Nggak tahunya dia anak orang kaya….” Bu Intan tampak
kecewa.
“Iya ya bu….Kok ada
nenek tiri sejahat itu. Tapi walau ibu nggak bisa mengangkat balita itu jadi
anak, paling nggak ibu sudah menolong balita itu.”
“Menolong?”
“Iya. Dengan kejadian
in, paling nggak, balita itu nggak di ajak panas-panasan untuk mengemis.”
“Iya, ya…. “Kata bu
Intan sambil naik boncengan.
.
.
Kami meluncur
meninggalkan rumah itu. Dengan pikiran yang menerka-nerka apa yang akan terjadi
selanjutnya. Mungkin pengemis yang juga nenek tiri dari balita itu diusir dari
rumah. Atau Lelaki itu cerai dengan istrinya, karena sang istri membela ibunya?
Tapi menurutku lebih cocok yang pertama. Dia tampak sangat shock, saat tahu
ibunya mengemis dengan mengajak anak tirinya.Tapi entahlah….aku hanya bisa
menduga-duga.
SELESAI
Profil Penulis:
Ami Daria
RT 05 / 02 DESA GEDEG
KEC COMAL
KAB PEMALANG
JAWA TENGAH
52363
Hp :085786849856
Belum ada Komentar untuk "Pengemis Itu (Sebuah Cerpen) By Ami Daria"
Posting Komentar