Pohon Jambu Idaman (Sebuah Cerpen) By Ami Daria
PlanetCerpen.com - Tanah pekarangan keluargaku lumayan luas.
Dibelakang rumahku ada perkebunan kelapa, yangbiasa buat main sepak bola
anak-anak tetangga. Setiap sore selalu ramai. Kalau habis dhuhur yang main
sepak bola usia dua belasan, usia anak SD. Setelah itu jam tiga sore, anak usia
lima belasan, usia SMP-SMA. Terakhir jam lima sore sampai maghrib, usia remaja.
Yang terakhir ini mayoritas bekerja sebagai penjahit, dengan membawa jahitan ke
rumah. Sepertinya antar mereka sudah ada perjanjian. Kadang mereka bertaruh,
siapa yang kalah membelikan minuman yang menang. Lucu juga. Aku hanya
mengamati.
Dulu almahum ayahku pernah berpesan, Kalau bisa
kebun kelapa itu jangan di buat rumah. Katanya kasihan anak-anak tak ada tempat
bermain sepak bola. Dibalik tabiatnya yang keras, ternyata ayahku punya jiwa sosial yang tinggi
juga.
Samping rumahku ada kebun. Di kebun itu ada pohon jambu biji. Nah…pohon jambu biji itu buahnya sangat lebat dan manis. Aku suka mencari kalau kalau ada yang matang. Tapi aku tak pernah menemukanya. Setelah aku perhatikan, ternyata anak-anak yang main sepak bola selalu menghampiri, main gelantungan dan memetik jambu biji itu. Hal itu selalu dilakukan khususnya oleh anak-anak yang usia dua belasan tahun.Kadang aku heran. Mereka dengan santainya memetik dan memakannya disitu. Bahkan ada yang dikantongi segala. Aku heran. Kok anak-anak itu dengan santai memetik jambu biji yang bukan miliknya. Bukankah itu sama artinya dengan mencuri?
Kadang anakku,
Bagas protes padaku. Karena sering tidak kebagian jambu biji. Padahal jambu
biji itu kan milikku, kok bisa-bisanya tidak kebagian. Masa pemiliknya berebut
dengan orang lain. Hidup ini kok aneh.
Pernah terbersit dalam hatiku untuk menasehati
anak-anak itu agar tidak memetiknya. Tapi setelah kupikir pikir, rasanya kok
malu. Malu sama orang tua mereka. Aku kan kenal orang tua mereka. Namanya juga
tetangga dekat. Jadinya, ya sudahlah…..pasrah pada keadaan. Toh di pasar juga
banyak jambu biji. Harganya juga tidak mahal-mahal amat. Masih mahal apel atau
jeruk, atau klengkeng, apalagi durian. Jadi ngapain juga dipikirin?
Sebenarnya jambu biji itu termasuk buah
kesenanganku. Sering aku beli jambu biji walau cuma setengah kilo. Tapi sering
tidak habis. Jambu biji kalau sudah dua hari dipetik, rasanya sudah tidak enak
lagi. Kurang renyah. Jambu biji itu enak
kalau belum benar-benar matang. Jadi baru setengah matang. Makanya kalau
beli di pasar, jarang jambu biji yang setengah matang. Kebanyakan sudah matang,
bahkan banyak yang sudah layu. Ya…idealnya memetik langsung dari pohonnya. Tapi
ya itu….berebut dengan anak-anak tetangga yang suka main sepak bola di belakang
rumah. Payah
kopyah……
Pagi itu kebetulan hari Minggu, Bagas masih mencari
jambu biji yang matang.
“Ada yang matang, dik?” Tanyaku
“Ada bu. Ini
satu. Lumayan…..” Jawab Bagas.
Namun belum juga Bagas memetik jambu biji itu
tiba-tiba ada Akmal, yang mencegahnya. Akmal datang bersama teman-temannya
untuk main sepak bola.
“Cop! Itu jambu udah aku cop. Siapa yang berani
memetik tangannya buntung.” Kata Akmal sambil menunjuk ke Bagas.
Bagas tidak jadi memetik jambu biji itu.
“Jangan berani kamu petik jambu itu. Sudah aku
cop.”Kata Akmal.
“Apa, Mal? Sudah kamu cop?” Tanyaku.
“Iya. Dari kemarin.?” Jawab Akmal dengan penuh
percaya diri.
“Memangnya pohon jambu ini punya siapa?”Tanyaku agak
emosi.
“Tapi kan sudah aku cop….”Jawab Akmal.
“Iya…sudah kamu cop…! Tapi pohon jambu ini punya
siapa? Kok berani-beraninya kamu main cop?”Tanyaku.
“Akmal ngawur…..!”Kata salah satu temannya. “Pohon jambu
itu kan punya Bagas….Ngawur…!” Sambung anak itu lagi.
“Kamu dengar kata temanmu, Mal? Jadi selama ini kamu
memetik jambu punya Bagas. Kamu nggak pernah pamit. Jadi kamu mencuri. Paham?”
Kataku
Akmal hanya diam sambil garuk-garuk kepala,
kebingungan.
“Udah dik Bagas. Kalau mau dipetik, petik
aja.”Kataku.
Buru-buru Bagas memetik jambu itu dan makan dengan
lahapnya.
“Baru sekarang aku bisa makan jambu ini, bu…biasanya
kan nggak pernah kebagian.”Kata Bagas senang.
“Dengar kamu, Mal….yang punya baru sekarang
kebagian. Selama ini yang memetik kamu dan teman-temanmu, kan…? Memetik yang
bukan miliknya. Itu artinya apa, Mal…?”Kataku agak emosi.
Aku memang emosi,mendapati Bagas yang mau memetik
jambu dilarang oleh Akmal. Walau seringkali aku tak menemukan jambu yang matang,
aku masih bisa santai. Tapi kalau hal itu terjadi pada Bagas? Mana mungkin aku
membiarkan hal itu terjadi di depan mata? Enak saja. Memang jambu punya siapa? Rasa
sayangku pada Bagas membuatku emosi. Memang rasa sayang seorang ibu terhadap
anaknya melebihi rasa sayang pada diri sendiri.
Sejak itu, anak-anak kalau mau memetik jambu, dan
kebetulan ada Bagas, mereka pamit. Kalau tak ada Bagas,ya tak pamit juga. Tapi
sepertinya Bagas tak memperdulikan hal itu. Dia tak begitu suka dengan jambu biji. Padahal aku suka. Suamiku
juga tak suka. Berarti Bagas meniru ayahnya. Tidak suka jambu biji. Memang
kalau masih keturunan genetika, hal-hal
yang disukai juga masih sama.
Ela, anak dari tetanggaku ada yang pulang dari
Jakarta. Dia sedang ngidam anak pertama. Melihat pohon jambu yang berbuah
begitu lebatnya, dia ingin memakannya. Ternyata dia ngidam jambu bijiku, dan
ingin memetik sendiri. Aku mempersilahkan. Diapun memilih, tapi tak menemukan
yang matang. Dua hari kemudian, dia mencari jambu yang matang lagi,
“Kok nggak ada yang matang sih, mbak…”Tanya Ela
dengan wajah kecewa.
“Iya, ya….Masalahnya
selalu dipetik anak-anak…”Jawabku prihatin.
“Sebenarnya kalau aku minta jambunya, boleh apa
nggak sih, mbak?”Tanya Ela.
“Ya boleh….tapi gimana lagi…Memang nggak ada yang
matang?” Jawabku.
“Ya nggak mungkin ada yang matang bu….wong belum
matang sudah dipetik sama mereka…”Kata Bagas sambil menunjuk ke kebun kelapa,
tempat anak-anak main sepak bola..
“Iya ya dik. Berarti mulai besok, aku akan larang
anak-anak memetiknya.”Kataku.
“Iya mbak. Makasih sebelumnya. Besok aku kesini
lagi.”Kata Ela sambil melangkah pergi
Aku hanya mampu memandang kepergian Ela dengan rasa
kasihan dan rasa bersalah..
Keesokan harinya, mas Kresna suamiku membawa triplek
yang ada tulisannya “DILARANG MENCURI JAMBU’ dan dipaku di pohon jambu itu.
Tapi walau ada tulisan itu, aku melihat Akmal tetap memetik jambu itu. Aku hanya diam, pura-pura tak melihat, tapi
anak-anak yang lain memarahi Akmal. Bahkan ada yang mengatakan kalau Akmal buta
huruf segala. Akhirnya Akmal pergi dari pohon jambu sambil mengenggam beberapa
jambu. Bagas mengerutu tak karuan. Tidak suka dengan cara Akmal yang memetik
jambunya terlalu banyak. Seharusnya maximal dua. Tapi dia memang tak tahu malu.Padahal
teman-teman sebayanya semenjak ada tulisan itu, tak berani memetik jambu itu
lagi. Akmal masuk kategori anak yang tak punya etika.
Sore hari Ela datang mau memetik jambu, namun tak
mendapatkan jambu yang matang.Dia terlihat sangat kecewa. Aku jadi trenyuh
melihat kesedihan di wajah Ela. Aku juga merasa bersalah. Kalau aku diam saja,
Ela tak akan pernah kebagian jambu itu. Nanti bagaimana nasip bayinya? Kata
orang tua, kalau keinginan orang ngidam tidak dipenuhi, bayinya bisa ngiler
sampai dewasa. Aduh kasihan sekali. Sejak itu aku melarang Akmal memetik jambu.
Mas Bayu malah lebih cerdas lagi. Dia dibantu Bagas membungkus jambu jambu itu
pakai Koran. Aku juga punya tugas baru, yaitu mengawasi Akmal dan kawan-kawan
saat mereka main sepak bola. Seringkali Akmal mencoba memetik jambu itu, namun
aku sering memergokinya.Memang kalau sudah tabiat, di nasehati dengan cara
apapun tak akan berhasil. Yang dominan dalam dirinya tetaplah tabiat itu.
Sudah hampir seminggu jambu itu tak ada yang
memetik. Aku mengintip kedalam Koran pembungkus jambu dan mendapati jambu-jambu
itu banyak yang matang. Aku memetik dua. Alhamdulillah…akhirnya dapat bagian
juga. Aku tertawa sendiri. Ela pasti sangat gembira bila saat memetik jambu itu
mendapatkan banyak yang sudah matang. Membayangkan hal itu, aku ikut gembira.
Makanya saat belanja sayuran aku mampir ke rumah Ela sekedar memberitahu, kalau
jambunya sudah banyak yang matang. Tapi kata ibunya, Ela sedang tidur.Namanya
juga orang hamil. Kadang tubuhnya lebih gampang lelah tanpa melihat waktu.
Sampai kelompok Akmal selesai main sepak bola, Ela belum datang juga.Seandainya mengidamnya
hanya ingin jambu itu, bisa saja aku
petikkan. Tapi mengidamnya, ingin jambu biji itu, dan harus dipetik sendiri.
Jadi aku hanya menunggu Ela datang untuk memetik jambu itu tanpa ada niat
memetikkan. Karena kelompok Akmal sudah pulang, aku merasa jambu itu dalam
keadaan aman. Aku tidur siang. Kalau tubuh ini terasa lelah dan ingin istirahat,
maka istirahatlah….agar tubuh ini tidak mudah terkena penyakit sehingga selalu
sehat.
Satu jam kemudian, aku bangun. Satu jam cukuplah
untuk menghilangkan penat di badan.Aku duduk di teras, menunggu Ela. Di rumah
sepupuku, Lita yang terletak di depan rumahku agak kekanan, ada yang berteriak
memanggilku. Teryata Heny, temanku saat SMA. Dia dulu sekelas dengan Lita. Heny
bersalaman denganku, basa-basi sekedarnya dan pamit pulang. Di stang motornya
ada plastic kresek bergelantung. Aku tak perduli, apa isi plastic kresek itu.
Ela datang sambil senyum-senyum.
“Mbak kata ibuku, jambunya banyak yang sudah
matang?” Tanya Ela dengan wajah gembira.
“Iya. Tadi aku mengintip ke koran pembungkusnya,
sudah banyak yang matang.” Jawabku sambil tersenyum.
“Aku minta ya, mbak….” Tanya Ela sambil melangkah ke
pohon jambu itu.
Aku mengikuti di belakangnya. Aku ingin menyaksikan
wajah gembira Ela saat memetik jambu biji yang matang. Ela memasukkan tangan ke
dalam Koran pembungkus jambu.
“Kok kosong, mbak?” Tanya Ela dengan wajah kaget.
“Masa? Tadi siang aku lihat ada jambunya.” Kataku
sambil melihat kedalam Koran pembungkus jambu.
“Ini juga kosong, mbak…”Kata Ela lagi.
“Kok bisa??” Aku sangat kaget juga kecewa.
Tanpa melihat kedalamnya, aku memijit Koran itu.
Memang kosong. Semua Koran-koran itu kosong. Kalaupun ada isinya, jambunya
belum matang.
“Dik Bagas….ini bungkusnya kok banyak yang kosong,
sich….?” Tanyaku pada Bagas, yang pulang dari dolan.
“Iya bu? Jangan-jangan dipetik semua sama tante
Lita….”Jawab Bagas, sambil ikut-ikutan memeriksa Koran pembungkus jambu. “Iya
bu…kosong semua. Ini ada jambunya. Aduh masih mentah.”Kata Bagas lagi.
“Aku duduk di teras dulu ya, mbak….”Kata Ela dengan
wajah penuh kecewa.
“Tante Litaaaa….!”Aku meneriaki Lita yang keluar
dari rumahnya.
“Iya Budhe…ada apa?”
“Tadi Tante minta jambu, ya?”
“Iya….buat Heny. Dia kan suka jambu biji. Melihat banyak yang matang, dia pingin. Maaf tadi aku kasih ke Heny nggak bilang sama
Budhe….Boleh, kan Budhe…?”
“Boleh…sih boleh….tapi mbok jangan
dihabiskan.”Kataku sambil mendekati Ela, dan duduk di sebelahnya.
“Heny kan belum tentu kesini sebulan sekali,
ya…mumpung dia kesini kasih yang banyak.”Jawab Lita.
“Kasih yang banyak boleh saja….tapi jangan
dihabiskan.” Kataku lagi.
“Kenapa sih Budhe? Derajatnya jambu saja, kok di
permasalahkan?”Tanya Lita sengit.
“Sebenarnya kamu baik hati ya Tante….? Temen datang
dikasih jambu yang banyak…”Kataku.
“Tentu.
Namanya juga sama temen.”Jawabnya dengan PD.
“Tapi sayang…..yang kamu kasihkan bukan milik kamu
sendiri….”Kataku lagi.
“Wong jambunya nggak ada, aku mau pulang aja, mbak…”Kata
Ela sambil melangkah pergi.
“Ada apa dengan Ela? Sepertinya dia kok
ngambek?”Tanya Lita tak megerti.
“Ela itu ngidam jambu biji….Selama ini nggak pernah
kebagian yang matang, makanya sama mas Kresna dikasih tulisan itu.”Kataku
sambil masuk rumah.
“Kok Budhe nggak cerita, kalau Ela ngidam jambu biji
itu?”Kata Lita.
Aku tak menjawab omongan itu. Percuma. Dia orangnya
kan tidak mau kalah. Kalau bicara suka ngenyel, mau menang sendiri. Jadi lebih
baik, aku diam saja. Bicara dengan orang
seperti itu. Hanya buang-buang energi.
Mas Kresna dan Bagas membuang Koran Koran pembungkus
jambu yang sudah kosong. Mulai sekarang, kami berjanji untuk mengawasi jambu
itu exstra keras. Kalau kelompok Akmal sedang main sepak bola, aku juga Bagas
sering mondar-mandir di sekitar pohon jambu. Pokoknya kami harus bisa
mempersembahkan jambu biji itu untuk Ela. Aku merasa tidak enak sama Ela. Masa
keinginan yang begitu sederhana tidak terwujud. Terlalu banyak hamanya. Hama
kepala hitam. Hama-hama seperti inilah yang sulit di berantas. Masalahnya
menyangkut etika dan juga perasaan.
Aku sedang menyapu halaman sambil ngobrol dengan
Lita, yang duduk diteras rumahnya, ketika Ina, ibunya Ela, datang menghampiriku.
“Ini uang muka.”Kata mbak Ina sambil menyodorkan
uang seratus ribu.
“Uang muka buat apa, mbak?”Tanyaku tak mengerti.
“Uang muka jambu biji. Kemarin Ela pulang sambil
menangis.Dia benar-benar menginginkan jambu itu. Tapi sepertinya kamu tak mau
memberikan secara gratis.”Kata Mbak Ina mulai emosi.
Lita mendekati tempat kami berdiri.
“Kenapa mbak Ina berpikiran seperti itu?”Tanyaku.
“Buktinya, berkali-kali tidak pernah ada jambu yang
matang.”Jawab mbak Ina.
“Banyak hamanya, mbak. Mereka yang memetik jambu
biji itu nggak minta ijin sama aku.”Jawabku.
“Ah, itu hanya alasanmu saja. Bilang aja kamu minta
jambunya dibayar.”Jawab mbak Ina lagi.
“Bilang saja iya, Budhe….”Kata Lita.
“Laa….betul kan, tebakanku? Bilang saja terus
terang. Nggak usah malu-malu.”Kata mbak Ina lagi.
“Tante Lita, kamu bukannya menjelaskan yang terjadi,
malah memperkeruh suasana.”Kataku.
“Habis dia sok kaya….Pakai pamer duit seratus ribu
segala….”Kata Lita sambil tertawa.
“Oh…jadi mentang-mentang aku orang miskin, terus
kalian berdua menghinaku. Menghina Ela…?” Kata mbak Ina penuh emosi.
Aku dan Lita saling pandang. Aku bingung. Bagaimana
cara menjelaskan pada orang yang sedang emosi?
Mas Kresna dan Bagas keluar dari
dalam rumah.
“Maaf ya mbak Ina….Sebenarnya kemarin sudah banyak
jambu yang matang. Tapi…..”Mas Kresna tidak melanjutkan omongannya. Dia hanya
memandang Lita.
“Tapi dirontoki sama tante Lita….”Bagas melanjutkan
omongan mas Kresna.
“Kok jadi aku, yang disalahkan?”Lita mulai emosi.
“La. Kan tante Lita yang memetik semuanya.
Dikasihkan ke temannya. Betul, kan?” Kata Bagas lagi.
“Salah sendiri nggak mau bilang kalau jambu itu buat
Ela….”Kata Lita sambil berjalan ke rumahnya.
“Yang salah tante. Kenapa mau kasih jambu ke teman,
nggak pamit sama yang punya jambu?”Kata Bagas lagi.
“Alah! Cuma jambu biji aja dipermasalahkan. Besok
aku belikan ke pasar. Sepuluh kilo. Paling harganya, berapa?”Kata Lita sambil
masuk rumahnya.
“Hiits….! Udah dik Bagas. Udah biarain aja. Jangan
diladeni, nanti makin panjang nggak karuan.”Kataku saat melihat bagas mau
bicara lagi.
Mas Kresna hanya tertawa geli sambil geleng-geleng
kepala.
“Oh…jadi yang memetik jambunya, Lita?”Tanya mbak
Ina, salah tingkah.
“Begitulah mbak….Hamanya sangat banyak kepala hitam dan
sangat besar…”Kataku sambil tertawa.
:Tante Lita pingin dapat pujian. Wiih…..baik sekali.
Kasih jambu banyak…tapi sayang, punya orang lain. Nggak tahu malu.”Kata Bagas.
“Hist! Jangan begitu. Nggak baik.”Kataku menasehati.
“Tenang mbak Ina….kami mau jaga pohon jambu itu
exstra ketat agar Ela bisa mendapatkan yang matang.” Kata mas Kresna.
“Iya. Terima kasih. Aku juga mau ikut mengawasi
pohon jambu itu.”Kata mbak Ina. Emosinya sudah reda.
“Iya mbak….Tenang saja…Duitnya dibawa pulang
saja”Kata mas Kresna lagi.
“Ya udah, aku pulang dulu, ya….”Kata mbak Ina
“Iya
mbak…..”Jawabku.
Mbak Ina pulang. Aku bernapas lega. Hamper saja
terjadi perang bratayuda. Untuk mas Kresna dan Bagas datang melerai. Walau
konsekuensinya Lita yang jadi emosi. Dia memang tabiatnya begitu. Merasa benar
sendiri. Terlalu sombong. Tapi biarlah….bukankah tiap orang punya kekurangan
dan kelebihan masing-masing?
Sekarang pohon jambu itu menjadi pohon yang
diperhatikan semua orang. Aku Bagas, mas Kresna, Lita, malah mbak Ina juga ikut
mengawasi. Buktinya saat Akmal dan teman-temannya baru mendekati pohon jambu,
mbak Ina langsung menghampiri dan menasehati agar tidak memetik jambu biji itu.
Berkat kerjasama beberapa pihak dalam menjaga pohon
jambu biji dari hama-hama berkepala hitam, akhirnya buahnya banyak yang matang.
Ela sangat gembira memanen buah jambu itu. Benar-benar dirontoki. Tapi biarlah,
aku iklas. Bagas juga sangat gembira menyaksikan Ela makan jambu biji dengan
lahapnya.
Waktu itu sore hari. Aku sedang membakar sampah saat
Ela datang sambil menjinjing plastik kresek, dan menyerahkan padaku.
“Ini buat
mbak….sebagai tanda terima kasihku.”Kata Ela.
“Apa ini?”Tanyaku sambil menerima bungkusan itu.
“Buah Naga dan klengkeng Buat dik Bagas.”Kata Ela sambil tersenyum.
“Waduh. Nggak usah repot-repot. Masa jambu biji
ditukar buah Naga dan klengkeng? Ya kemahalan…..”Kataku sambil mengembalikan
bungkusan itu.
“Ya nggak kemahalan mbak…wong…”Ela tampak malu-malu.
“Wong kenapa….?”Tanyaku penasaran.
“Wong aku masih akan memetik jambu biji lagi.
Maksudnya selama aku masih ngidam…Boleh nggak ,mbak?.”Tanya Ela malu-malu.
“Oh begitu….? Boleh nggak apa-apa.”Jawabku mantap.
“Terima kasih banyak ya mbak…..Aku jadi nggak enak.
Tapi kalau melihat jambu biji punya mbak, kok kelihatannya enak banget…”Kata
Ela sambil tertawa.
“Namanya juga orang ngidam….Ya begitu. Nggak apa-apa
kok.” Kataku lagi
“Makanya buah ini sebagai gantinya.” Kata Ela sambil
menyerahkan bungkusan itu lagi.
“Nggak usah Ela….aku iklas kok.” Jawabku.
Bagas tampak keluar rumah.
“Bu….aku mau mandi. Tungguin dong….”Kata Bagas
sambil memandang Ela, penuh tanda tanya.
“Kebetulan Bagas keluar. Ini buat kamu. Makasih atas
jambunya, ya….?”Kata Ela sambil menyerahkan bungkusan itu pada Bagas.
“Iya mbak Ela. Sama-sama.”Bagas menerima bungkusan
itu.
“Ya udah mbak Ningrum….aku pulang dulu. Makasih
ya….”Kata Ela sambil melangkah pergi.
“Iya….sama-sama….Kalau mau metik jambu, petik aja,
ya….?’
“Iya mbak….” Kata Ela.
Ternyata buah Naga dan klengkeng itu sebagai alat
untuk menyewa pohon jambu bijiku. Entah sampai kapan, aku juga tak tahu.
Setelah Ela tak terlihat lagi, Bagas langsung
melihat isinya dan dan tertawa senang.
“Wah….buah Naga dan klengkeng? Buah kesukaanku.”Kata Bagas
gembira.
“Dari siapa itu?”Tanya
mas Kresna, yang baru keluar dari dalam rumah.
“Dari mbak Ela…..”Jawab Bagas. “Baik banget Ela. Masa jambu biji ditukar sama buah Naga dan klengkeng?” Kata Bagas sambil
makan buah klengkengnya.
“Iya bu…”Tanya mas
Kresna.
“Iya….tapi ada
syaratnya….”Kataku
“Apa syaratnya?” Tanya
mas Kresna
“Dia minta ijin untuk selalu memetik jambu biji
itu.”Jawabku.
“Sampai kapan?”Tanya
mas Kresna
“Ya….nggak ngidam jambu
lagi.”Jawabku.
“Waduh! Sampai lama apa
nggak, bu?”Tanya Bagas.
“Mungkin dua
bulan.”Jawabku.
“Nggak apa-apa. Yang
penting kalau habis memetik jambu, mbak Ela menukarnya dengan buah Naga dan
klengkeng.”Kata Bagas sambil tertawa.
“Hist! Ya enggak
lah…..”Kataku.
“Siapa tahu….”Kata
Bagas lagi.
“Ini berarti Ibu sudah
mengadaikan pohon jambunya?” Kata Mas Kresna sambil tertawa.
“Iya. Benar-benar pohon
jambu idaman. Sampai-sampai ada yang mengadai.”Jawabku.
“Idaman setiap orang.
Dari anak-anak, orang dewasa sampai orang hamil” Kata mas Kresna lagi.
Aku hanya tertawa
menangapi humor mas Kresna. Iya ya? Pohon jambu itu sudah kugadaikan pada Ela.
Digadai sesuai keinginan yang mengadai. Ada ada saja. Tapi tak apa. Malah aku sangat bersyukur, berkat pohon
jambu idaman, aku dapat membantu Ela. Memang nilainya tak seberapa, tapi bagi
Ela sangat berarti. Aku suka itu. Prinsip hidupku, selama aku masih bisa
membantunya, dan hal itu tidak merugikan atau membahayakan diriku sendiri, is
oke…..tak apa-apa. Daripada nanti bayinya ngiler terus. Kasihan,kan. Sekarang
aku membantu, siapa tahu suatu hari nanti disaat aku membutuhkan bantuan, ada seseorang yang datang membantu. Bukankah
makin banyak kita memberi, maka akan makin banyak pula yang kita dapatkan. Itulah
hukum alam.
Belum ada Komentar untuk "Pohon Jambu Idaman (Sebuah Cerpen) By Ami Daria"
Posting Komentar