SELALU ADA PILIHAN (cerpen) By Ami Daria
SELALU
ADA PILIHAN
(Cerpen) By Ami Daria
Sebagai suami setia, aku tidak bisa menerima
perlakuan istri yang selingkuh , yang mengkhianati cinta suciku. Tiap hari
inginnya uring-uringan saja. Mengetahui hal itu, Anton sahabat yang juga teman
sekantor, mengajak main golf untuk
reflesing.
Pada hari Minggu kami jadi main golf, berdua. Kami
disertai caddy yang masih muda dan cantik-cantik. Caddyku bernama Niken.
Caddynya Anton bernama Lita. Aku berharap dengan bermain golf, sementara waktu
aku dapat melupakan kekesalanku pada istri. Tapi apa yang terjadi? Bukannya
reflesing yang kudapatkan, tapi malah hati dongkol. Bagaimana tidak
dongkol? Kalau score yang aku dapat, sangat
jelek. Double part*, Tripel*, paling bagus Bugi*. Itupun sangat jarang. Untuk
pemain golf sekaliber aku, score segitu masuk kategori sangat jelek. Itu lebih
cocok score untuk player pemula.
Kesalahan siapa? Untuk player dengan HandCup kecil,
yang belum kenal lapangan lalu bermain jelek, tentu saja itu kesalahan Niken,
sebagai caddy. Kalau saja Niken bisa
membaca break, tidak akan begini jadinya. Kadang-kadang sebagai pelampiasan amarah, kumelempar putter sejauh mungkin. Dan
Niken dengan sabarnya mengambil putter itu, dan di tee box berikutnya Niken
memberi stik padaku sambil tersenyum
manis. Sepertinya Niken tidak marah atas perlakuanku tadi.
“Coba Caddy. Ini break* kemana?” Tanyaku saat mau
memasukan bola ke lubang hole.
Niken jongkok sambil mengamati. “Kanan dua bola
pak.” Jawab Niken mantap.
“Betul? Kamu yakin?” Tanyaku tak percaya.
“Betul pak....”Jawab Niken lagi.
“Bukannya kiri....”Tanyaku ragu.
“Kelihatannya tanahnya tinggi kiri pak...tapi di
sebelah kanan ada sungai...jadi kanan...”
“Aku setuju dengan Niken...kalau dari sini berarti
kiri. Menurutmu kiri berapa bola Niken?” Tanya Anton.
Niken mengamati dengan seksama. “Dari arah bapak,
kiri satu bola.”Jawab Niken mantap.
“Oke....” Kata Anton sambil memukul sesuai petunjuk
Niken. Dan bola itu masuk hole.
“Siip! Kamu memang jago baca break, Niken....” Kata
Anton gembira.
Niken hanya
tersenyum manis. Aku segera konsentrasi untuk memukul bola menuju lubang hole. Ah!
Meleset.
“Kamu gimana sih, kasih break? Katamu kanan dua
bola?” Kataku emosi.
“Maaf pak.
Tadi arah bapak bukan kanan dua bola. Tapi empat bola. Terlalu ke kanan..”Jawab
Niken membela diri.
“Alah! Alasan!” Kataku sambil melempar stik dan jalan menuju golfcar.
Anton berjalan mendekatiku. “Tadi memang benar kata
Niken...kamu ambilnya terlalu kanan...” Kata Anton berbisik.
Aku pura-pura tidak dengar perkataan Anton. Masa
Anton menyalahkan player sekaliber aku? Dia malah membela Niken. Aneh.....
Pada hole berikutnya Niken memberi petunjuk arah
pukulanku. Tapi ternyata bolaku masuk bungker*. Aku benar-benar kecewa.
“Tadi kamu harusnya mengarahkan kesana....ternyata
kamu stupid, ya....”Kataku menahan emosi.
Niken hanya tersenyum. Anton menepuk-nepuk pundakku
sambil tersenyum.
Teryata Niken memang benar-benar bodoh. Dia hanya tersenyum saat kukatakan dia stupid.
Bearti tak tahu arti stupid.
Kami menuju ke hole terakhir. Score saya sangatlah
jelek. Walau kami tidak taruhan. Tapi aku sangat kecewa juga.
“Ini mau ke hole terakhir. Bagaimana? Kita cukup
satu ronde atau main lagi?”Tanya Anton.
“Istirahat dulu saja. Aku lapar...”Jawabku.
“Ya sudah....aku nurut apa kata kamu...”Kata Anton sambil turun dari golfcar menuju lapangan.
“Hari ini aku benar-benar sial. Dapat cady yang mad
and stupid!”Aku benar-benar emosi.
“Hist! Hati-hati kalau bicara, nanti dia
tersingung...”Kata Anton berbisik.
Kulirik Niken dan Lita, yang berjalan di belakangku. Niken
senyum senyum. Justru Lita yang tampak marah padaku., namun dia tak berani bicara.
“Tenang....dia nggak tahu....”Aku sangat yakin.
“Belum tentu....”Kata Anton masih berbisik.
“Kalau dia tahu artinya mad dan stupid pasti dia
sangat marah. Buktinya dia cuma senyum senyum....”Aku yakin kesimpulanku benar.
“Terserah kamu.....”Jawab Anton santai.
“E Cady......ini saya dan pak Anton mau makan dulu...nanti
main lagi...Tapi saya minta ganti caddy, ya....jangan kamu. Kamu terlalu bodoh
untuk membaca break juga keadaan lapangan. Kalau begini aku yang rugi....aku
jadi telihat bodoh.” Kataku sambil menunjuk Niken.
“Iya pak...nggak apa-apa. Nanti saya bilang sama
caddy master agar diganti. Maaf kalau
saya banyak kesalahan ya pak....” Kata Niken dengan sabarnya.
“Maaf. Kamu pikir dengan minta maaf, semua akan
membaik? Itu tak akan memperbaiki keadaan. Kamu kalau mau kerja yang
profesional dong....Jangan hanya nampang doang...”Kataku lagi.
“Aku sudah berusaha semaxsimal mungkin pak...tapi
hasil akhir itu tergantung playernya....”Kata Niken penuh percaya diri.
“Jadi kamu mau bilang kalau aku yang bodoh...?”
“Terserah bapak mau berpendapat bagaimana, itu urusan
bapak...” jawab Niken dengan tenangnya.
“Ini anak.....melonjak...sudah salah....”
Belum selesai aku bicara, aku ditarik Anton “Pri,
kamu jangan marah-marah begitu...Dia itu nggak salah.......”Kata Anton sambil
mengajakku pergi.
“Tidak salah gimana? Baca breaknya salah melulu?”Aku
membela diri.
“Break yang dia berikan selalu benar. Hanya saja
pukulan kamu yang kurang benar. Kadang menutup, kadang membuka. Kamu tidak
konsentrasi.Tujuanku mengajakmu main golf
agar reflesing, bukan marah-marah sama caddy.” Kata Anton dengan wajah
kecewa.
Anton mendekati dan menepuk-nepuk pundak Niken.
“Maafkan pak Pri ya, Niken....dari tadi beliau marah
marah terus.”Kata Anton.
Tentu saja aku sangat dongkol. Kenapa pula Anton
minta maaf?
“Nggak apa-apa pak. Itu udah resiko pekerjaan kami.”Jawab
Niken berdeklamasi.
“Kamu tidak marah?” Tanya Anton penasaran.
“Nggak...saya justru kasihan pada pak Pri. Beliau
dikendalikan perasaan. Logikanya lenyap entah kemana. Saya pikir kalau orang
seusia pak Pri pasti bisa mengendalikan emosinya. Ternyata nggak juga. Kasihan.
Lalu pada usia berapa beliau mampu mengendalikan emosinya?” Kata Niken lagi.
Mendengar jawaban yang melecehkan itu tentu saja
emosiku meluap. “Kamu tidak tahu apa yang terjadi padaku! Kalau masalah ini
menimpamu, mungkin kemarahanmu melebihi kemarahanku!”
Niken tersenyum sambil menjawab. “Belum tentu.
Jangan menganggap cara berpikir orang lain akan sama dengan cara berpikir
bapak. Cara pandang seseorang terhadap suatu masalah selalu berbeda. Kalau
boleh tahu, apa sebenarnya masalah bapak?” Tanya Niken dengan nada simpati.
Sebenarnya kemarahanku sudah sampai ubun-ubun
mendengar dia menanyakan masalahku. Dia sangat lancang. Tapi kulihat Anton
tersenyum sambil melirikku sehingga aku berusaha meredam amarahku.
“Bagaimana, Pri? Apa pertanyaannya mau dijawab?” Tanya
Anton.
“Terserah kamu. Silahkan kamu yang menjawab.”
Jawabku.
Secara tidak langsung aku sudah menjawab pertanyaan
Anton. Anton tersenyum sambil naik Golf car.
“Kita cerita sambil jalan, oke? Sambil menuju ke
hole berikutnya.”
Kami segera naik Golfcar dan menuju ke hole
berikutnya.
“Istri pak Pri selingkuh....Sebenarnya ini masalah
orang dewasa. Mungkin cara berpikir kamu belum sampai ke arah itu. Tapi karena
kamu ingin tahu dan pak Pri mengijinkan, maka bapak katakan padamu....” Kata
Anton.
“Ooh....masalah begitu....”Jawab Niken santai. Nada
suaranya terdengar seperti melecehkan.
“Kurang ajar!” Gigiku bergelutuk menahan emosi.
“Maaf pak Pri jangan emosi dulu...... Saya punya
pilihan untuk mengomentari masalah bapak, seperti halnya bapak juga punya
pilihan dalam menghadapi masalah ini...”Kata Niken terdengar tenang.
“Coba lanjutkan omonganmu...”Kata Anton penasaran.
“Dalam menghadapi masalah ini bapak bisa memutuskan
diantara dua pilihan. Pertama, yaitu marah, emosi dan menyalahkan istri. Atau
pilihan kedua, yaitu tenang, diam dan mencoba intropeksi diri. Dalam hal ini
belum tentu istri bapak yang salah. Bisa jadi kesalahan dari pihak bapak.” Kata
Niken terdengar bijaksana.
“Apa kamu bilang?!” Aku benar-benaar emosi,
disalahkan oleh anak kemarin sore.
“Melihat bapak yang sangat emosional begini saya
yakin, dalam kehidupan sehari-hari bapak juga selalu emosional. Ada masalah
kecil dibesar-besarkan dan istri dijadikan kambing hitam. Yang jelas tiap ada masalah
bapak selalu mencari orang lain untuk
disalahkan. Selalu orang lain yang salah dan bapak yang benar. Iya, kan?” Kata
Niken dengan santainya.
Aku hanya diam melotot pada Niken yang sangat berani
menyalahkanku. Kalau saja Anton tidak menepuk-nepuk pundakku, mungkin aku sudah
menampar Niken yang terlalu lancang itu.
“Tapi walau begitu....” Niken melanjutkan
omongannya. “Bisa saja kesalahan dari pihak istri. Mungkin istri bapak bukan
wanita setia. Bapak tinggal merenung untuk tahu jawabanya. Yang penting
jujurlah pada diri sendiri....”Kata Niken lagi.
Aku tidak komentar sama sekali. Kupikir apa yang
Niken katakan benar juga. Anton tersenyum sambil mengacungkan jempol.
Aku merenungi semua perkataan Niken.Ternyata begitu
banyak keburukan keburukan yang aku
lakukan. Aku sering marah pada istri dan istriku sering jadi tempat pelampiasan
amarahku. Aku merasa paling benar, siapapun tak ada yang boleh menentangku. Aku
juga sering tak punya waktu untuk bercengkrama
dengan keluarga, istri dan anak-anak.
Aku terlalu sibuk. Berangkat kerja di pagi buta dan pulang larut malam.
Tidak ada komunikasi diantara kami. Kami sibuk dengan urusan masing-masing.
Tapi tenanglah....aku punya pilihan
untuk bercerai atau mempertahankan perkawinan kami. Yang penting sekarang bicara
dari hati ke hati dengan istri agar tahu alasan perbuatannya. Selama ini sudah
terjadi misscomunikasi diantara kami.
Aku kirim pesan ke istri, agar kami bisa bicara
empat mata. Dan aku memutuskan untuk
makan di luar sehingga pembicaraan kami tidak terdengar anak-anak. Aku sengaja
mengajak istri makan di rumah makan favorit kami saat masih pacaran dulu.Sudah
satu jam aku menunggu kedatangan istri. Aku belum pesan makanan. Biarlah kami
pesan sesuai keinginan masing-masing.
Dengan wajah cemberut istriku datang. “Nampaknya
serius banget. Ada apa kamu mengajakku makan disini?” Tanya dia heran.
“Maaf
sebelumnya. Aku cuma merasa kalau kita perlu bicara secara
terbuka....”Aku bicara secara pelan. Takut salah bicara.
“Memangnya selama ini kita bicara secara tertutup?”Tanya
istriku masih heran.
“Ya....kita harus membicarakan. Mau dibawa kearah
mana pernikahan kita.”
“Ya terserah kamu Mas, mau dibawa ke selatan atau ke
utara atau mungkin amblas ke dalam tanah.” Kata istriku mulai emosi.
“Kamu kok bicara begitu...?”
“Masalahnya sifat grusa grusu kamu dari dulu nggak
pernah hilang...kamu membuatku malu”
“Malu? Malu kenapa? “Aku tak mengerti.
“Malu karena sikapmu pada mas Hendra sepupuku yang
dari Kalimatan itu!”
“Sepupu yang mana?” Aku tak mengerti.
“Sepupu yang waktu itu menunggu kamu pulang....tapi
begitu pulang, kamu bukannya menyapa, malah masuk kamar sambil membanting
pintu. Benar-benar memalukan!”
“Maksud kamu, laki-laki itu sepupu kamu?”
“Kamu pikir itu selingkuhanku? Gila apa, selingkuhan
dibawa ke rumah?”
“Iya juga sih....tapi aku kok belum pernah tahu
dia.....?”
“Masalah waktu pernikahan kita, dia nggak bisa
datang....”Jawab Istriku
“Kok nggak bilang, kalau dia sepupu kamu?”
“Bagaimana aku akan bilang? Kamu kan nggak memberi
kesempatan padaku untuk bicara.”
Aku hanya diam terpaku. Ternyata aku salah paham.
Aku memang pencemburu berat. Benar-benar berat sampai logikaku hilang lenyap
entah kemana (menguntip perkataan Niken)
“Sikap kamu terlalu kekanak-kanakan. Memalukan” Kata
istriku emosi.
“Ya sudah...aku minta maaf. Aku ingin menemui mas
Hendra untuk minta maaf...”Aku menyesali sikapku kemarin.
“Jauh jauh datang dari Kalimatan, ingin bertemu
keluarga bukannya disambut dengan ramah tamah malah dicemberuti. Keterlaluan.
Seperti bayi!” Kata istriku lagi.
“Iya...! Aku seperti anak kecil atau seperti bayi.
Aku terima....yang penting aku minta maaf...!” Aku mulai emosi.
“Wong minta maaf nadanya kok emosi begitu.....dasar
seperti anak kecil....”Kata istriku menyindir.
“Dari tadi kamu selalu bilang aku seperti anak
kecil?”Istriku menjengkel sekali.
“Memang begitu kenyataannya.....usia udah tua tapi
perlakuan nggak pernah dewasa.” Kata
istriku lagi.
Aku sudah tidak tahan lagi dengan perkataan istriku
yang selalu menganggapku seperti anak kecil.
“Ya sudah. Aku memang kekanak kanakan. Terus kamu
maunya apa?”
“Lha kamu sendiri maunya apa?” Tantang istriku.
Hampir saja emosiku memuncak. Tapi aku teringat
dengan perkataan Niken. Bahwa kita selalu punya pilihan, pilihan pertama, yaitu
marah pada istri atau pilihan kedua, yaitu tenang, diam, intropeksi diri.
Aku putuskan untuk memilih yang kedua. Tenang, diam,
intropeksi diri. Memang disini kesalahan ada padaku. Aku yang terlalu cepat
menyimpulkan. Aku yang tak memberi kesempatan istri untuk bicara. Sungguh
memalukan sikapku waktu itu. Tentu mas Hendra sepupuku itu sangat marah dan
kecewa. Pantas saja kalau istriku bicara seperti itu padaku. Semua itu salahku.
Aku menghela napas panjang tiga kali. “Aku minta
maaf. Memang benar apa katamu tadi.”Aku bicara pelan.
“Tapi kata maafmu tak akan memperbaiki keadaan.”
Kata istriku kecewa.
“Aku akan menemui mas Hendra...dimana dia
tinggal.....”
“Terlambat. Dia sudah balik ke Kalimatan....”Kata
istriku ketus.
“Aduh! Aku benar-benar nggak enak sama dia. Kamu
punya nomor hpnya? Aku mau telepon dia......”
“Nggak perlu. Percuma......”Jawab Istriku.
“Percuma, kenapa? Aku mau minta maaf....”
“Kenapa minta maaf? Kamu kan nggak salah....”
“Aku salah......aku salah....aku mau minta
maaf....”Aku benar-benar menyesal.
“Akhirnya kamu mau mengakui kesalahanmu?” Kata
istriku sambil tersenyum.
“Iya...kalau dipikir-pikir aku memang
keterlaluan...memalukan. kekanan-kanakan....”
Istriku tertawa geli. “Tumben...biasanya gengsimu
terlalu tinggi untuk mengakui kesalahanmu?”
“Iya....aku menyadari bahwa manusia itu letaknya
kesalahan...Aku minta maaf. Kamu mau, kan? Memaafkan aku?”
“Aku pikir pikir dulu...masalahnya kesalahanmu
terlalu besar.” Kata istriku tegas.
Aku benar-benar kalangkabut mendengar jawaban
istriku. Ternyata dia belum mau memaafkanku. Dengan cara apalagi aku bisa
mendapatkan maaf darinya.
Tapi ternyata itu hanya taktik istriku untuk
mengerjai aku. Dia cuma ingin menguji kesungguhanku dalam minta maaf. Setelah
itu kami makan berdua sambil ngobrol-ngobrol. Sebagai suami istri, kalau aku perhatikan.
Sikap istriku lebih dewasa daripada aku. Mungkin karena usia kami sebaya.
Bukankah wanita lebih cepat dewasa dibandingkan laki-laki.Status dalam keluarga
juga berbeda. Istriku di keluarganya merupakan anak sulung dan sebagai tulang
punggung keluarga. Beda denganku yang merupakan anak tunggal dari keluarga
mampu. Jadi dimanjakan. Memang kadang status dalam keluarga mempengaruhi kedewasaan
pola berpikir seseorang.
Hari berikutnya, Hendra datang untuk pamitan. Selama dua hari
ini Hendra menginap di hotel, yang masih sekabupaten dengan rumahku. Seandainya
waktu itu aku bersikap ramah padanya, mungkin dia tidak perlu menginap di
hotel. Sekarang dia mau pulang ke Kalimatan. Aku menahannya agar dia bisa
menginap di rumah kami lebih lama lagi. Tapi dia menolak. Saya hanya dapat
berjanji untuk mengunjunginya suatu hari nanti. Hendra hanya tersenyum tipis.
Kulihat ada kekecewaan diwajahnya. Aku minta maaf atas kesalah pahamanku selama
ini. Untuk kedua kali dia hanya tersenyum tipis. Aku memeluknya sebagai ucapan
perpisahan, namun dia mendorongku dengan lembut. Justru Hendra memeluk istriku
erat sambil membisikkan sesuatu. Entah apa yang dia bisikkan. Akupun tak tahu.
Aku hanya berjanji dalam hati untuk menanyakan hal itu pada istriku, setelah
dia pergi nanti.
Ternyata dalam hidup ini selalu ada pilihan. Kita
tetapkan pilihan dan putuskan dengan segala konsekuensinya. Dalam usiaku yang
sudah berkepala tiga, aku baru menyadari pentingnya menentukan pilihan, pentingnya
memutuskan sesuatu. Seandainya waktu itu aku diam dengan segala prasangka buruk
yang menyelimuti jiwa, mungkin perkawinan kami sudah hancur. Tapi berkat
perkataan Niken. Aku menentukan pilihan, untuk bicara dengan istriku. Dan
akhirnya semua terungkap. Oh ya, aku juga menentukan pilihan untuk menanyakan
apa yang dibisikan Hendra waktu itu.
Tapi istriku tak mau memberitahukan, dia hanya menjawab, biarlah itu menjadi
rahasia dia dan Hendra. Aku tak bisa
berbuat apa-apa. Jadi aku menentukan pilihan, untuk mengabaikan masalah itu. Aku
buang jauh jauh rasa penasaran dari dalam hatiku. Anggap saja itu tak penting.
Setelah aku cerita tentang Niken, istriku ingin bisa
mengenal Niken secara lebih jauh. Kami main golf ke tempat kerja Niken, namun
tak dapat bertemu dengannya. Kata Caddy yang membawa kami, Niken ijin. Seminggu
kemudian kami main lagi, namun tetap tidak dapat bertemu Niken, yang katanya
masih ijin.
Sekarang ini saya bersama istri main golf untuk yang
ketiga kali. Kali ini disertai Anton. Namun kami tidak dapat bertemu Niken lagi.
Kata caddy yang membawa kami, Niken sudah keluar karena sudah dapat pekerjaan
yang lebih baik. Begitu wisuda Niken langsung mendapatkan pekerjaan yang sesuai
keinginannya. Wisuda? Kupikir Niken hanya lulusan SD. Ternyata caddy disini
minimal lulusan SMA. Ternyata banyak caddy yang berstatus mahasiswi. Pantas
saja Niken senyum-senyum waktu kucaci pakai bahasa inggris. Jadi dia tahu apa
yang aku katakan? Malah kata caddy yang membawaku, Niken jago bahasa inggris.
Waduh! Malu aku...tapi bagaimana lagi? Semua sudah terjadi. Sekarang yang
penting bagaimana bisa menemui Niken? Sementara caddy caddy disini tak ada yang
tahu alamatnya sekarang. Bagaimana aku bisa mengucapkan terima kasih padanya??
* istilah dalam permainan golf
* istilah dalam permainan golf
.
SELESAI
Keren keren ka cerpennya
BalasHapusMakasih......Desi Ratna...semoga karya-karya mbak Desi juga makin menjulang tinggi......
HapusPerempuan memang se tingkat lebih tinggi untuk berfikir dewasa :)
BalasHapusMemang seringkali seperti itu...makanya secara umum menyarankan agar jarak usia suami dan istri idealnya 5 tahun. Mbak Noer...masih aktif, nggak....kok kulihat belum ada karya berikutnya.....? Makasih atas kunjungannya, ya......
Hapus