KEDOK SANG PELINDUNG (Cerpen) By Ami Daria.
KEDOK
SANG pelindung
(cerpen) By Ami daria
Narmi terbangun dari tidur. Tangannya
meraba-raba sebelahnya. Kok suaminya tak ada? Narmi membuka matanya. Matanya
tertuju ke jam dinding. Pukul 02 pagi. Kemana mas Edy? Narmi bertanya-tanya
dalam hati.
Terdengar
batuk-batuk dari luar kamar. Edy masuk kamar sambil menguap.
“Dari mana,
Mas?” Tanya Narmi.
“Dari
toilet....” Jawab Edy.
“Kok
lama....?”
“Memangnya
ada batas maximal ke toilet?” Tanya Edy sambil berbaring lagi.
“Ya enggak
sih......Cuma aku kok merasa aneh aja.” Narmi menarik selimut.
Edy hanya
diam, memejamkan mata dan tidur lagi. Merasa dicuekin, Narmi tidur juga.
Pagi hari Narmi belanja di tukang sayur langanannya. Di
sana sudah ada Rita dan Tari yang juga sedang belanja.
“Tadi malam
kamu dengar jago berkokok lagi nggak, Rit?” Tanya Tari sambil memilih bayam.
“Iya....berarti
udah tiga malam berturut-turut.” Jawab Tari.
“Lha
emangnya kenapa? Jago berkokok, hal yang wajar bukan. Kok sepertinya serius
amat?” Narmi heran.
“Kata orang
tua...kalau ada jago berkokok di malam hari, itu pertanda ada gadis atau janda
yang hamil.....” Kata Rita.
“Hah?Masa.....??Kira-kira
siapa, ya?” Tanya Narmi.
“Ya...nggak
tahu....itu kan cuma kata orang tua.....smoga aja nggak terjadi” Kata Rita
lagi.
“Iya.....tapi
kalau misalnya benar ada yang hamil, kita juga nggak terpengaruh.” Kata Tari
menambahkan.
“Sst....siapa
tahu si Tatik....dia kan janda kembang....” Narmi mulai memancing-mancing.
“Emangnya
kalau janda kembang, kenapa?” Rita tak mengerti.
“Iya. Narmi
ini aneh...kalau janda tanpa laki-laki mana bisa hamil?” kata Tari sambil
tertawa geli.
“Masalahnya....aku
pernah lihat dia boncengan sama Wasdul. Siapa tahu ada titik titik diantara
mereka....” Kata Narmi.
“Pacaran
maksudmu? Ya nggak apa-apa....Tatik janda, Wasdul bujang tua....” Minah,
penjual sayur, ikut komentar.
“Maksudku...mereka
kan sudah sama-sama dewasa...kalau pacaran nggak mungkin jalan doang...pasti
ada kikuk kikuknya...akhirnya Tatik hamil. Gitu....” Kata Narmi lagi.
“Hist! Belum
tentu. Justru karena mereka sudah sama-sama dewasa itulah, mereka lebih
hati-hati.” Kata Minah.
“Sudah...jangan
menabak-nebak hal yang belum pasti. Itu sama artinya kamu menyebar fitnah....”
Kata Rita.
“Betul....”
Tari menambahkan.
“Aku kan
cuma mengatakan siapa tahu.....” Narmi membela diri.
“Tapi siapa
tahu kamu itu bermaksud menuduh.” Kata Rita.
“Ini mbak
Minah......dihitung....” Tari menyodorkan belanjaannya.
Minah segera
menghitung belanjaan Tari.
“Punyaku
juga mbak.....” kata Rita menyodorkan belanjaannya juga.
Selesai belanjaannya dihitung, mereka berdua langsung pergi. Tinggal Narmi seorang diri. Narmi memancing-mancing tentang Tatik namun Minah cuma mengacuhkan, pura-pura tidak mendengar. Merasa omongannya tidak ditanggapi Narmi sakit hati juga. Tapi mau apa?
Sampai rumah Narmi mendapati Edy sedang menata dagangannya. Celana-celana produk konveksi. Edy bekerja sebagai tukang jolok. Tukang Jolok itu adalah penjual pakaian jadi, bisa celana, atau atasan, yang ditawarkan dari pintu ke pintu.
“Wong diajak
ngomong kok pada cuek.....bikin kesel aja....” Kata Narmi melintas disamping
Edy.
“Siapa?” Edy
penasaran.
“Itu.....Rita...Tari...sama
mbak Minah.” Narmi menghentikan langkahnya.
“Memangnya
kamu ngomong apa?” Tanya Edy.
“Mereka
bilang, kalau ada jago berkokok malam hari, tandanya ada janda atau gadis
hamil....”
“Terus.....”
Edy penasaran.
“Ya siapa
tahu, Tatik yang hamil. Dia kan pacaran sama Wasdul.” Kata Narmi.
“Kok kamu
bisa langsung menebak Tatik yang hamil?” Edy penasaran.
“Kan cuma
menebak.....” Kata Narmi sambil melangkah lagi.
“Menebakmu
itu seperti menuduh.” Kata Edy lagi.
“Emangnya siapa lagi? Disini janda kan cuma
dia....” Kata Narmi.
“Kok jadi
ngomongin janda? Jago berkokok tandanya ada orang hamil....tapi kan belum tentu
benar.....” Kata Edy sambil tertawa geli.
Narmi cuma cemberut sambil masuk rumah. Edy cuma geleng-geleng kepala.
Memang Narmi terkenal orang yang suka ngegosip. Terutama terhadap Tatik. Entah kenapa sepertinya Narmi ada rasa iri atau sentimen terhadap Tatik. Iri dan setimen karena apa, tak ada seorangpun yang tahu. Tatik sendiri juga tak tahu.
Edy yang
baru pulang jualan, memarkir sepeda motornya di halaman samping, dekat motor
lain.
“Motor siapa
ini?” Dengan rasa penasaran Edy buru-buru masuk rumah, ini tahu pemilik motor
itu.,
“Assalamu’alaikum.....”
Edy memberi salam.
“Wa’alaikum
salam......” Jawab Indah dan Andi bersamaan. Mereka sedang belajar bersama di
ruang depan.
“Ada tamu?
Siapa dia...?” Tanya Edy.
“Oh..ini
Andi pak...temen sekolah Indah. Kami sedang mengerjakan tugas sekolah.” Jawab
Indah sambil berdiri dan salim dengan Edy.
“Andi,
Om....” Andi ikut-ikutan salim dengan Edy
Edy
memandang wajah Andi dengan seksama.” Wajah kamu kok mirip...kamu anak siapa?”
Edy mengamati Andi.
“Saya anak
dari pak Handoko, Om” Jawab Andi.
“Handoko.....”
Edy mengingat-ingat, “Handoko suaminya Indri...?”
“Betul Om.
Bu Indri ibu saya.......”
“Hem......”
Edy tampak tidak suka. Dia ngeloyor pergi meninggalkan Indah dan Andi yang
saling pandang dengan wajah bingung.
“Udah
yok...kita lanjut.” Ajak Indah.
“Ayo......”
Jawab Andi.
Mereka
segera melanjutkan pekerjaannya.
Edy menaruh
tas bawaanya disamping Narmi yaang sedang nonton TV.
“Sejak kapan
Indah pacaran sama anaknya Handoko?” Edy tampak tidak senang.
“Mereka
nggak pacaran kok pak. Cuma belajar bersama.” Jawab Narmi sambil menuju dapur.
Sejenak kemudian muncul sambil membawa secangkir teh manis dan menyodorkan pada
Edy.
“Kalau nggak
pacaran, kenapa belajar bersamanya cuma berdua?” Tanya Edy sambil menerima
cangkir itu dan minum.
“Ya...karena
dapat tugasnya berdua berdua......Kenapa sih, Pak.....kok kelihatannya nggak
suka?” Tanya Narmi penasaran.
“Aku memang
nggak suka sama bapaknya. Si Handoko itu dulu masa mudanya kan play boy kelas
kakap. Hampir semua cewek cantik disabet.” Kata Edy.
“Hem....aku
paham....kamu masih dendam sama Handoko, to?” Narmi mencibir.
“Dendam
masalah apa?” Edy bingung.
“Alah......udah
menjadi rahasia umum...dulu kamu naksir Indri, kan?” sambung Narmi.
“Ngomong
apa, kamu?!” Edy minum lagi.
“Indri
menolak cintamu, dan dia menerima cinta Handoko. Iya, kan? Tentu aja dia
menerima Handoko. Dia kan guru SMP. Sedangkan kamu, cuma tukang jolok. Dagang
kolor keliling.....” Kata Narmi sambil tersenyum meledek.
“Sudah
lah....omongan kamu kok jadi ngelantur tak karuan. Aku mau keluar sebentar. Mau
cari angin.” Edy beranjak pergi.
“Tadi
dagangannya gimana? Laku banyak, nggak...?” Tanya Narmi.
“Cuma
sedikit......” Jawab Edy yang sudah sampai samping rumah.
Narmi segera
mematikan TV dan mulai bersih-bersih rumah.
Indah
berjalan mendekati Narmi, “Bu...itu Andi mau pamit.”
Narmi
mengangguk dan keluar menemui Andi.
Di warung
Minah sudah ramai. Ada Rita, Tari juga ibu-ibu yang lain. Narmi datang
bergabung.
“Yang datang
melamar banyak, nggak?” Tanya Tari kepada Rita.
“Enggak
sih....Cuma Wasdul sendiri, ayahnya, juga dua pakdhenya. Kalau ramai-ramai Tatik
nggak mau. Malu katanya.....” Jawab Rita.
“Apa? Wasdul
melamar Tatik? Nggak salah lagi. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan.” Kata
Narmi penuh semangat.
”Lah,
ini....si biang gosip mulai menebak-nebak dan tebakannya selalu yang negatif.”
Minah tampak tak suka.
“Oke....kita
tunggu aja. Tebakanku bener, nggak?” Narmi tampak sangat yakin.
“Kalau
menurutku salah 100%.” Kata Tari.
“Aku
sependapat denganmu, Ri....” Kata Rita, “Lagian kenapa kamu begitu yakin sih,
Narmi.....?”
“Lha
buktinya nikah baru tiga bulan cerai, ee...malah jalan sama Wasdul. Jangan
jangan Tatik memang selingkuh jadinya dicerai sama suaminya.” Kata Narmi lagi.
“Oh
itu....kalau aku yang jadi Tatik juga langsung minta cerai....buat apa? Suaminya
selingkuh sama teman akrabnya.....” Kata Rita.
“Baguslah.....cewek
playgirl itu diselingkuhi aja. Biar tahu rasa.” Kata Narmi tersenyum senang.
“Kamu ini
Narmi...kalau lihat orang lain sengsara kok malah senang....?” Kata Minah
sinis.
“Dia kan
tipe orang tertawa diatas penderitaan orang lain, dan menangis diatas
kebahagiaan orang lain.” Kata Rita sambil mencibir.
“Yo, nggak
gitu.......Cuma dulu Tatik kan pacarnya banyak.....bukan tipe orang
setia...sekarang kena getahnya. Begitu lho.....” Narmi membela diri.
Tari
menjawil Rita, “Memang selingkuhnya sudah parah? Kok Tatik langsung minta
cerai?”
“Parah
gimana, maksudmu?” Tanya Minah.
“Ya...sampai
hamil, misalnya.” Tanya Tari lagi.
“Ya...nggak
mungkin hamil lah....”Kata Rita sambil tertawa geli, “Masalahnya selingkuhannya
itu sama-sama cowok.” Kata Rita lagi.
“Hah?
Cowok?” Tari sangat terkejut, “Jadi suaminya Tatik homo?”
“Begitulah.....”Kata
Rita.
“Jadi kabar
itu memang benar, Rita?” Tanya Minah.
Rita
mengangguk sambil memilih-milih sayur.
“Oalah...wajah
tampan. Penampilan perlente, ternyata....” Tari tak melanjutkan perkataannya.
Narmi tidak
komentar apa-apa. Untuk sementara dia hanya jadi pendengar yang baik.
Sampai
rumah, Narmi mendapati Indah pulang sekolah diantar Andi.
“Lho Indah...kok
pulang. Kenapa?” Tanya Narmi.
“Indah masuk
angin Tante....tadi muntah-muntah di kamar mandi. Sama bu guru, aku disuruh
mengantarnya pulang.” Jawab Andi.
“Masuk
angin??” Tanya Narmi heran.
“Makasih ya,
Andi....sana kamu balek ke sekolah.” Kata Indah.
“Iya Dah....ya
udah aku ke sekolah lagi. Mari Tante......” Andi mengangguk pada Narmi.
“Iya Andi.
Makasih ya......” Jawab Narmi.
Andi hanya
mengangguk dan menyetater motornya.
“Kamu sakit
apa Indah....” Tanya Narmi sambil menyetuh kening Indah.
“Nggak tahu,
bu. Kepalaku pusing. Mual juga....”Kata Indah sambil masuk rumah.
Narmi
mengikuti masuk rumah, “Mungkin kamu masuk , ya....mau?”
Indah hanya
mengangguk. Mereka masuk kamar. Narmi mempersiapkan minyak kayu putih dan uang
logam buat mengerik Indah.
Selesai
dikerik Indah berbaring. Narmi segera memasak.
Ditunggu sampai
tiga hari, Indah tidak membaik juga. Edy menyarankan agar Indah dibawa ke
dokter. Pagi-pagi Narmi mengantar Indah ke dokter.
Pulang dari
dokter, belum masuk rumah Narmi sudah teriak-teriak memanggil Edy. Sementara
Indah berjalan menunduk masuk rumah.
“Poak.....kok
begini jadinya......poak...!” Teriak
Narmi dari atas motor.
Edy
buru-buru keluar rumah menghampiri Narmi, “Ada apa.....? Mbok turun
dulu........”
“Anakmu itu
lho poak.....kok begini jadinya.....??” Narmi tampak kalut.
“Ada apa
dengan Indah.......?” Tanya Edy penasaran.”Kamu kok malah nangis...? Indah
sakit parah?”
Narmi
mengeleng sambil berjalan masuk rumah. Edy mengikutinya. Sampai di ruang depan
tangis Narmi meledak.
“Oalah
poak.....anak kita bagaimana ini?” Narmi kebingungan.
“Ada apa
dengan Indah....?? Bicara yang benar....” Edy makin penasaran.
“Indah
poak.....Indah.....dia hamil.” Narmi lemas.
“Apa?!” Edy
sangat terkejut. Dia bengong beberapa saat, “Kok bisa hamil? Sama siapa?”
“Itulah,
yang aku bingung....Indah hamil sama siapa?” Narmi kebingungan.
“Kamu sudah
tanya Indah?” Tanya Edy penasaran..
“Indah nggak
mau ngaku. Dari tadi Indah nangis doang.....” Kata Narmi.
Edy bengong
beberapa saat. Dia tampak berpikir keras, “Tidak salah lagi.....tidak salah lagi....pasti
anaknya Handoko. Pasti. Aku mau minta tanggung jawab.” Edy melangkah keluar.
“Jangan
gegabah pak....jam segini, Andi pasti sudah masuk sekolah. Handoko juga udah
pergi mengajar. Nanti sore aja......?” Narmi menyarankan.
Edy
mengangguk dan masuk rumah kembali, “Ya sudah...aku mau jualan dulu. Nanti pulang dari jualan baru aku ke
rumah Handoko....”
“Nah....begitu
bagus. Cari duit dulu......gelabrak sih masalah gampang.....kita kan tahu
rumahnya.” Kata Narmi.
Edy hanya
tersenyum tipis.
Edy pulang
dari jualan. Tas besar bergelanyut di pundaknya. Sambil memberi salam Edy masuk
rumah, meletakkan bawaannya dilantai. Narmi menjawab dari dalam kamar Indah,
jalan ke dapur, muncul lagi sambil membawa minum dan menyerahkan pada Edy.
Narmi
berjalan mendekati, “Bagaimana pak? Laris.....?”
“Lumayan.....kalau
tiap hari begini kita bisa makan enak tiap hari.....” Kata Edy sambil
minum, “Bagaimana Indah? Sudah ngomong
siapa bapaknya?”
Narmi
mengeleng, “Dari tadi cuma nangis.”
“Ya sudah,
aku mau kerumah Handoko sekarang.” Edy menyerahkan gelas bekas minumnya dan
buru-buru keluar rumah.
Edy
buru-buru menyalakan mesin motor.Narmi berlari mendekati, “Pak...aku ikut,
ya.....Pokoknya Andi harus tanggung jawab.”
“Kamu mau
ikut melabrak?”
Narmi
mengangguk., “Boleh, to?”
“Boleh...nggak
apa-apa. Ayo!”
Narmi naik
ke boncengan, Edy segera menjalankan motornya.
Mereka
sampai di rumah Handoko. Masih di teras Edy sudah teriak-teriak memanggil
Handoko.
“Handoko......permisi.....!”
Edy berdiri di teras sambil tolak pinggang.
Handoko dan
Indri tergopoh-gopoh keluar.
“Mana anakmu
Andi?! Dia harus tanggung jawab.” Kata Edy emosi.
“Tanggung
jawab masalah apa?” Handoko bingung.
“Aku
panggilkan Andi dulu.” Kata Indri sambil masuk rumah kembali.
“Anak guru
tapi nggak punya etika! Kalau punya anak diajari sopan santun dong.....”Edy
makin emosi.
“Memangnya
apa yang dilakukan Andi?” Handoko masih bingung, “Silahkan duduk dulu.
Edy dan Narmi duduk. Secara bersamaan Indri dan Andi keluar rumah.
“Nah...Andi.
Sini duduk.Coba mas Edy jelaskan, apa
yang telah Andi perbuat?” Handoko berusaha sabar.
“Andi kamu
harus bertanggung jawab pada Indah.” Edy menunjuk-nunjuk Andi.
“Memangnya
apa yang terjadi pada Indah Om?” Andi tak mengerti.
“Indah hamil. Pasti kamu yang menghamilinya!” Edy melotot.
“Indah hamil? Tapi aku tak melakukan apapun pada Indah....”
Andi bingung.
“Pasti kamu. Siapa lagi? Yang selama ini akrab sama Indah kan
cuma kamu?!” Kata Edy.
“Iya
Andi.....cuma kamu....” kata Narmi menambahkan.
“Tapi saya
nggak melakukannya......” Andi terlihat bingung.
“Sabar mas
Edy.....sabar....semua dibicarakan secara baik-baik.” Kata Handoko.
“Tentu saja
kamu dapat sabar. Yang menanggung malu kan anakku. Bukan anakmu!” Kata Edy
emosi.
“Ya memang
yang bisa hamil cuma anak perempuan mas.....Andi! benar kamu yang melakukan?”
Tanya Indri sabar.
“Enggak
bu....Sumpah. Demi Tuhan.....saya nggak melakukan itu....”
“Nah.....mas
Edy dengar sendiri, kan? Andi nggak melakukannya. Coba mas Edy tanya sama Indah
aja.....siapa yang melakukannya. Siapa tahu Indah punya pacar....” Kata Indri.
“Pacarnya
Indah ya Andi itu.....mereka berdua sering belajar bersama!” Kata Narmi.
“Ya itu
Bulek, cuma belajar bersama. Nggak lebih.” Kata Andi lagi.
“Kok
bertele-tele begini sih? Kalau anakmu nggak mau tanggung jawab aku mau lapor
polisi! Permisi!” Edy langsung berdiri dan siap pergi.
“Tunggu!
Tunggu! Kita bicarakan secara kekeluargaan. Jangan lapor polisi....nanti
beritanya menyebar...Indah lho yang paling malu.” Kata Handoko.
“Bener juga
pak....Justru Indah yang paling malu....” Kata Narmi.
“Saya nggak
mau tanggung jawab. Saya nggak melakukan apapun sama Indah.” Kata Andi tegas.
“Kamu berani, kalau aku laporkan polisi?”
Tantang Edy.
“Berani!
Kenapa mesti takut? Saya kan nggak salah.” Kata Andi lagi.
“Oke! Aku
mau lapor polisi!” Kata Edy emosi.
“Jangan mas
Edy......nanti mas Edy malu sendiri....” Kata Handoko.
“Memang aku
akan malu. Tapi kamu dan anakmu juga akan malu!” Kata Edy.
“Pak...sebaiknya
kita lapor pak lurah saja....jangan sampai keluar kampung....malu.” kata Narmi.
“Menurutku
juga nggak usah lapor pak Lurah segala. Ini kan masalah keluarga kita....” Kata
Indri.
“Lho! Anakmu
nggak mau ngaku, nggak mau tanggung jawab! Terus aku disuruh diam saja? Ya
nggak bisa.....!” Kata Edy.
Handoko dan Indri saling pandang.
“Ya
udah....aku mau lapor pak lurah saja. Biar disidang di balai desa! Permisi!”
Edy melangkah keluar dengan terburu-buru. Narmi mengikuti dibelakangnya. Mereka
pergi.
Setelah
mereka pergi Handoko dan Indri memandang Andi tajam. Andi tampak ketakutan.
“Kamu masih
SMA kok sudah melaangkah sejauh itu Andi? Memalukan!” Handoko sangat marah.
“Saya nggak
melakukan apapun Ayah.....” Kata Andi ketakutan.
“Kalau kamu
nggak melakukan apapun sama Indah, kenapa dia bisa hamil?” tanya Handoko.
Indri
tertawa geli, “Ayah....ayah...pertanyaannya kok aneh. Indri cewek, kalau dia
hamil. Ya, berarti dia melakukan hal itu. Tapi kan bukan berarti pasti
Andi....”
“Betul
Bu...dia bisa hamil sama siapa saja...yang jelas bukan saya.” Kata Andi serius.
“Jadi memang
bukan kamu?” Handoko terlihat ragu.
“Bukan
Ayah....suer...” Kata Andi.
“Ibu percaya
sama Andi....” Kata Indri sambil tersenyum lega.
Balai desa
ramai. Banyak orang bergerumun. Ternyata ada sidang mengenai kehamilan Indah.
Pak lurah beserta pamong duduk selaku hakim dan jaksa seperti dalam
persidangan. Di seberangnya ada Edy berjajar dengan Narmi dan Indah. Agak jauh tampak Andi, Handoko dan Indri juga
duduk berjajar. Di belakang mereka banyak warga desa yang memenuhi kursi yang
tersedia. Malah banyak warga yang tidak kebagian kursi, berdiri di teras.
Setelah pak lurah membuka sidang dengan sagala macam basa-basi akhirnya pak lurah sampai pada pokok masalah.
“Maaf mbak
Indah.....sekarang jawab yang jujur. Siapa yang telah menanam benih dalam tubuh
mbak Indah?” Tanya pak Lurah berwibawa.
Indah hanya
diam menunduk.
“Pak
Lurah.....sudah jelas kalau Andi pelakunya. Kenapa pakai tanya-tanya segala.”
Kata Edy tak sabar.
“Mbak
Indah....apakah betul kalau pelakunya mas Andi??” Tanya Pak Lurah pelan.
Indah mengeleng
sambil menunduk dalam-dalam.
“Jawab
Indah...kenapa dari tadi kamu diam melulu!” kata Edy emosi.
“Pak...yang
sabar to......” Kata Narmi terlihat malu.
“Sabar!
Sabar! Bagaimana aku bisa sabar? Kalau dari tadi Indah nggak mau jawab!” kata
Edy makin emosi.
Huuu....! orang orang yang bergerumun menyoraki Edy.
“Maaf pak
Edy....saya harap tenang dulu....yang paling tahu masalah ini itu mbak Indah
sendiri....jadi kita harus dengar jawaban mbak Indah.......” Pak Lurah tampak
mencoba sabar.
“Betul
Indah....hanya kamu yang tahu...jawab yang jujur.....nggak usah pekewuh....”
kata Narmi.
“Betul!
Kalau Andi ya katakan Andi! Kalau bukan...., siapa?! Jangan diam saja....kalau
begini caranya nggak bakalan kelar...!” Edy masih emosi.
“Betul mbak
Indah.....jawab yang jujur.....” Kata Pak Lurah lagi.
Indah menoleh pada Andi. Andi hanya mengangguk sambil tersenyum. Pandangan Indah beralih ke Handoko dan Indri. Mereka juga mengangguk sambil tersenyum.
Mereka
terlalu baik. Aku tak mungkin menuduh mereka untuk perbuatan yang nggak Andi
lakukan. Aku harus katakan yaang sebenarnya. Siapa yang berbuat harus dia yang
menanggung akibatnya. Kata Indah dalam hati.
“Bukan Andi
yang melakukan hal ini Pak Lurah....” Kata Indah sambil berdiri.
Para warga berceloteh yang intinya mendukung omongan Indah. Handoko dan Indri tersenyum lega. Sementara Edy terlihat seperti kebakaran jenggot.
“Kalau bukan
Andi lalu siapa, mbak Indah....?” Tanya Pak Lurah.
“Yang jelas
bukan Andi. Biarlah itu menjadi rahasiaku sendiri. Biarlah rasa malu ini kutanggung
sendiri. Yang aku mau...Andi jangan dibawa-bawa ke masalah ini. Dia nggak tahu
apa-apa.” Indah mulai menangis.
“Nggak
mungkin Andi nggak tahu apa-apa. Nggak mungkin bukan dia yang melakukannya!”
Kata Edy sambil mengebrak meja.
“Pak....jangan
emosi begitu dong....malu.” Kata Narmi sambil mengedarkan pandang ke
sekeliling.
“Kalau bukan
Andi lalu siapa Indah...?? Katakan! Jangan hanya diam.” Edy mengoyang-goyang
pundak Indah.
“Bapak
benar-benar ingin tahu....?” Tanya Indah menentang pandangan Edy.
“Tentu saja!
Biarkan semua yang hadir disini tahu, siapa laki-laki bejat itu!” Kata Edy
lantang.
“Pak....duduk....jangan
malu-maluin.....” Kata Narmi menarik Edy agar duduk kembali.
“Maaf pak
Edy. Kalau mbak Indah tidak mau mengatakannya tak apa. Yang penting sudah kita
ketahui bersama, bahwa pelakunya bukan Andi. Itu yang penting.” Kata Pak Lurah.
“Kepalang
basah pak. Kalau bukan Andi, Indah harus mengatakan siapa laki-laki itu. Biar
semuanya jelas.” Kata Edy.
“Baik....baik...kalau
memang itu keinginan bapak....aku akan mengatakan siapa laki-laki tak bermoral
itu. Laki-laki berkedok. Laki-laki yang seharusnya sebagai pelindung tapi tidak
punya moral sama sekali.” Indah menatap Edy tajam sambil menahan tangis.
‘Siapa
Indah...laki-laki berkedok, laki-laki yang seharusnya sebagai pelindung....ibu
benar-benar tak mengerti arah pembicaraan kamu.....” Narmi mendekati Indah.
“Ibu memang
harus tahu kebenarannya.......ibu harus tahu.....” Kata Indah menahan tangis.
“Bukan hanya
ibumu. Aku juga perlu tahu siapa laki-laki itu. Siapa? Katakan?” Kata Edy
emosi.
“Maaf pak
Edy....saya harap pak Edy bersabar....” Kata Pak lurah.
“Dari tadi sabar sabar melulu!” Edy tampak tak
sabar.
“ Baik. Akan
saya katakan siapa laki-laki tersebut. Dia adalah.........” Indah tak
melanjutkan kata-katanya hanya telunjuknya yang menunjuk ke Edy.
“Siapa
maksud kamu, Indah?” Narmi tak mengerti.
“Maksud mbak
Indah.......??” Pak Lurah tak melanjutkan kata-katanya.
Indah hanya
diam kaku sambil telunjuknya tetap mengarah ke Edy. Edy diam menunduk.
“Maksud mbak
Indah.....laki-laki itu pak Edy, ayah kandung mbak Indah sendiri....?”
Tanya Pak Lurah pelan.
Indah hanya
mengangguk sambil memandang tajam Edy.
“Indah....!Yang
benar Indah......masa ayahmu tega melakukan ini?” Narmi menubruk Indah.
“Tapi memang
itu yang terjadi bu.....” Kata Indah.
“Masya
Allah.......keterlaluan.........” Narmi jatuh pingsan.
Pak Lurah dan pamong langsung memburu Narmi yang pingsan. Sementara warga menyoraki Edy yang hanya diam menunduk dalam-dalam.
Handoko dan
Indri mendekati Indah dan menenpuk-nepuk pundaknya. Andi hanya mampu diam
mematung.
Kejujuran itu memang harus diungkapkan. Sepahit apapun kejujuran itu harus diungkapkan. Apalagi bila tidak diungkapkan akan timbul fitnah bagi orang lain. Jadi Indah berprinsip untuk mengatakan yang sebenarnya. Bisa saja Indah mengatakan kalau laki-laki itu Andi, karena dalam hati Indah yang paling dalam, dia mencintai Andi. Dan inilah kesempatan untuk mendapatkannya. Tapi.....bukan seperti itu cara untuk mendapatkan hati Andi. Bukan ......dan sekarang keadaan Indah semakin menjauhkan dirinya dari hati Andi. Tapi biarlah......memang semua itu sudah suratan. Entah bagaimana masa depannya, Indah sendiri juga tak tahu. Benar benar tidak tahu.........
SELESAI
Belum ada Komentar untuk "KEDOK SANG PELINDUNG (Cerpen) By Ami Daria."
Posting Komentar