SERIBU TAKTIK (Novel/Cerbung) By Ami Daria (Part 1-3)
SERIBU TAKTIK
(Novel/Cerita Bersambung) By Ami Daria
Setelah saya membuat kumpulan cerpen dan Skenario, kini saya merambah membuat Novel/Cerita panjang, yang saya buat secara bersambung tiap hari KAMIS. Cerita ini seru karena tokoh-tokohnya yang merupakan dua saudara kembar, punya seribu taktik untuk menghadapi segala masalah dalam hidupnya. Oke....selamat membaca.....
planetcerpen.com Seribu
Taktik menceritakan dua saudara kembar Kensi dan Mitha dengan kepribadian yang
berbeda. Kensi tomboy, tegas, mandiri, dan cuek. Sementara Mitha, feminim,
manja, lemah lembut, kurang tegas, dan selalu menjaga perasaan orang lain tanpa
memikirkan diri sendiri.
Sejak
ibu kandungnya meninggal dan papanya menikah lagi, mereka harus berjuang mati-matian
demi masa depannya. Mereka putri dari pegusaha sukses Santoso, namun kehidupan mereka tidaklah
bergelimang harta selayaknya anak pengusaha sukses karena segala keputusan
Santoso dibawah kendali istri mudanya
yang baru dinikahi enam bulan dan sekarang sedang mengandung buah cinta mereka.
Herman,
adik kandung ibu mereka bersedia membiayai kuliah mereka. NamunHerman juga
dibawah kendali istrinya. Jadi atau gagalnya mereka kuliah, tergantung
keputusan Mega, istri Herman.
Ketidaktegasan
Santoso dan Herman yang dibawah kendali istri sangat mempengaruhi keputusan
terhadap masa depan mereka juga.Mereka harus berjuang sendiri. Tidak hanya itu,
karena istri-istri dari Papa dan Omnya selalu mencari celah untuk mengagalkan
segala jerih payah mereka.Selain itu ketidak harmonisan di keluarga Herman, mau
tak mau ikut menyeret mereka ke dalamnya juga.
Mampukah mereka melepas diri
dari belenggu itu?
Begitu
banyak jalan berliku yang harus mereka tempuh. Dengan orang-orang sekeliling
yang menghalalkan segala macam cara demi mencapai ambisinya. Dapatkah mereka
berdua melewati semua rintangan itu?
BAGIAN 1
Mereka tinggal bersama ayahnya Santoso
dan Santi, yang baru resmi sebagai ibu tiri enam bulan yang lalu. Santi sangat
galak pada kedua anak tirinya, terutama terhadap Mitha. Sebenarnya Santi lebih
cocok sebagai kakak mereka karena jarak usia mereka hanya selisih delapan
tahun. Sementara jarak usia dengan Santoso, sangatlah jauh. Santi 27 tahun
sementara Santoso 54 tahun. Tepat dua kali lipatnya. Dengan jarak yang jauh
itulah membuat Santoso sangat menyayangi istrinya, melebihi rasa sayang
terhadap dua putrinya.
Merasa di atas angin sifat aslinya Santi
muncul. Dia tak setuju bila Santoso mau menguliahkan kedua putrinya. Dan bila Santoso
menolaknya, Santi melancarkan senjata pamungkas yang mampu membuat Santoso tak
berkutik
Kensi sedang
tiduran di kamarnya sambil menirukan lagu slow rock dari radio.Suasana
kamarnya terkesan maskulin. Dinding warna biru, seprei juga biru dengan gambar
kucing. Didinding terdapat foto Kensi dengan pakaian karate.
Mitha sedang duduk sendiri di lantai, menyisir
rambut sambil gerak bibirnya menirukan lagu sendu dari radio yang ada disamping
tempat tidur.Mitha yang feminim lebih suka warna yang lembut. Serba pink.
Seprei pink bergambar bunga-bunga kecil, dinding juga pink.Berbagai boneka
berjajar ditempat tidur bersandar dinding. Didinding terdapat foto Mitha dengan
busana kebaya.
Kensi membuka pintu kamar, melongokan wajah sambil
tersenyum.
“Sedang apa nona manis....? Cari jerawat? Biasanya
sibuk cari jerawat.” Kata Kensi sambil berbaring ditempat tidur dan memindah
gelombang radio.
“Hoe! Jangan diganti! Itu lagunya bagus-bagus” Mitha
protes.
“Alah....lagu cengeng begini....nanti kamu jadi
sentimentil....menangis, meratap...waduh...hidup ini perlu diperjuangkan. Bukan
diratapi.” Kata Kensi.
“Pokoknya bagus menurut seleraku. Yang penting
lagunya enak didengar.”
“Cari lagu itu yang membuat kita semangat, berpikir
positif. Jangan yang bikin kita sedih tak menentu, seolah-olah putus cinta,
patah hati. Kesedihan bukan untuk disebarluaskan Non...tapi untuk dilupakan.”
“Ini kamarku. Selera musiknya juga seleraku. Kalau
nggak mau dengar, keluar. Go!” Mitha
mendorong Kensi hingga keluar dari kamarnya.
Dengan cueknya Kensi keluar kamar sambil
bersenandung. Sejenak kemudian kepala Kensi nongol dari balik pintu.
“Sory lupa. Sebenarnya maksudku kesini mau kasih
tahu kalau kamu dipanggil.”
“Dipanggil siapa?”
“Ibu tiri hanya cinta kepada....ayahku saja...” Kata
Kensi sambil ngeloyor pergi.
Santi sedang
makan.
Dimeja terdapat beberapa piring dan gelas kotor. Mitha datang menghampiri.
“Ada apa, Tante...” Tanya Mitha.
“Ada apa? Cuci semua piring dan gelas yang kotor.
Dasar pemalas!” Santi sangat marah.
Mitha mengangguk dan membawa piring serta gelas yang
kotor ke dapur.
“Hoe! Ini mejanya dilap dulu....:” Bentak Santi
lagi.
Mitha muncul dan membersihan meja lalu ke dapur
melanjutkan pekerjaannya.
Mitha mencuci piring dan gelas diawasi Santi yang
mondar-mandir dibelakangnya.
“Kalau udah selesai, setrika pakaian papamu. Jangan
di kamar melulu.” Kata Santi.
Santi tak menyadari kalau Kensi mengendap-endap dan
berdiri di belakangnya.
“Aku ini ibumu, bukan pembantu. Aku sibuk masak
kalian enak-enakan tidur. Keluar hanya untuk makan. Mulai besok kamu yang
masak. Bilang sama Kensi. Agar dia yang cuci dan setrika baju papamu!”
“Oh ya? Lalu apa yang akan kamu lakukan disini?”
Tanya Kensi dari belakang Santi.
“Ken...Kensi? Sejak kapan kamu disini?” Santi tampak
kaget.
“Sejak kemarin mungkin. Yang jelas sudah lama. Sudah
mendengar semua perkataanmu. Dan jawabnya no way.....Kami tak kan melaksanakan
perintahmu, tahu?” Kata Kensi sambil melotot pada Santi.
Kensi menarik Mitha agar berhenti mencuci piringnya.
Walau ragu-ragu namun Mitha menuruti ajakan Kensi.
“Ibu tiri yang terhormat. Mestinya kamu berterima
kasih pada kami. Kami sudah membantu peker jaanmu. Aku nyapu dan ngepel. Mitha
mencuci peralatan dapur. Ibu tiri masak.
Adil, kan?” kata Kensi.
“I...iya....” Santi tampak ketakutan.
“Kalau kami egois. Kami nggak akan membantumu.
Bukankah kamu yang mengusir mbok Inem? Dulu janjinya sama papa mau mengantikan semua
tugas mbok Inem....kan duit yang seharusnya buat bayaran mbok Inem masuk ke
kantongmu...”
“Iya sih....” Jawab Santi.
“Lha itu sadar....kamu Mitha. Kalau dibentak-bentak
lawan dong...kamu sama dia kan sama besarnya. Kalau berkelahi paling-paling
kamu yang menang....Orang sewenang-wenang itu harus dilawan....” Kensi emosi.
“Nggak apa-apa Kensi...ini tugasku..” Mitha mau
melanjutkan mencuci piring.
“Aku tahu. Tanpa disuruhpun nanti sore pasti kamu
cuci semua. Ibu tiri aja yang kebanyakan tingkah. Sehari makan lima kali. Tiap
habis makan harus langsung dicuci. Nyuruhnya membentak-bentak lagi. Lagaknya
kayak bos aja. Ayo kerjakan sendiri.
Makan makan sendiri, giliran cuci piring suruh orang lain.” Kata Kensi.
“Lho...katanya cuci piring tugas Mitha...?” Santi
membela diri.
“Memang. Tapi nanti sore. Pokoknya menjelang makan
malam semua sudah bersih. Jangan makan sehari lima kali, habis makan selalu
bentak-bentak Mitha suruh langsung cuci! Lagaknya kayak preman....bikin aku
gemes aja. Gemes pingin nendang...” Kata Kensi sambil tertawa geli.
Santi hanya diam. Awas! Belum tahu apa yang akan kulakukan
padamu. Kamu akan menyesal seumur hidup. Kata Santi dalam hati.
Mereka
kedatangan Herman, adik ipar Santoso. Kebetulan Herman ada
tugas dari kantornya ke kota mereka.
Jadi daripada menginap di hotel. Herman lebih suka menginap di rumah Santoso
agar dapat ngobrol-ngobrol dengan kedua keponakannya.
Herman menanyakan kelanjutan pendidikan kedua
keponakannya yang sudah mau lulus SMA. Santoso belum bisa memastikan, apakah
kedua putrinya mau dikuliahkan atau tidak. Dia tak dapat memutuskan tanpa
persetujuan Santi.
Malam sudah larut. Namun Kensi tak dapat memejamkan
mata. Dia masih teringat jawaban papanya yang tak dapat memutuskan, mau
menguliahkan mereka atau tidak. Padahal dulu papanya pernah berjanji mau
menguliahkan mereka. Kenapa sekarang jadi pindah haluan? Kensi benar-benar tak
habis pikir.
Kensi memutuskan untuk bergabung ngobrol dengan papa
dan Omnya. Tapi saat ke ruang tengah sudah sepi. Mereka sudah tidur. Kensi berniat
kembali ke kamarnya namun dia menangguhkan keinginannya ketika tanpa sengaja
mendengar pembicaraan Santi dan Santoso dari kamar mereka.
Kensi menempelkan telinganya dipintu kamar Santoso
agar dapat mendengar pembicaraan mereka secara lebih jelas. Tanpa Kensi sadari,
Herman berjingkat-jingkat di belakangnya dan ikut menguping.
“Aku takut kalau
Papa membiayai kuliah mereka, nggak ada uang buat biayai kelahiran anak kita
nanti.” Kata Santi.
“Jangan khawatir. Tabungan Papa banyak. Kalau buat kuliah mereka juga
persiapan kelahiran anak kita, Papa kira cukup.” Jawab Santoso.
“Nggak hanya itu, Pa....Anak kita nanti juga butuh
biaya perawatan, pendidikan dan lain-lain yang
kadang diluar perhitungan. Aku nggak mau kalau anakku nanti nggak dapat
pendidian yang layak.”
“Mama nggak usah khawatir...kalau mereka dapat
pendidikan tinggi maka harapan agar mereka hidup layak lebih besar. Bila
saatnya tiba, mereka sudah mandiri. Mereka bisa membantu membiayai pendidikan
anak kita.”
“Masa? Aku nggak percaya....apa mungkin mereka akan
menyayangi anakku yang hanya adik tiri? Rasanya nggak mungkin..” Santi
terdengar ragu.
“Papa yakin mereka akan
menyayangi selayaknya adik kandung. Percayalah. Mereka anak yang baik.” Santoso
menyakinkan.
Hening sejenak. Tampaknya mereka sedang berkecamuk
dengan pikiran masing-masing.
“Nggak! Pokoknya aku nggak setuju. Begini aja....Papa
pilih salah satu. Menguliahkan mereka tapi kita cerai, atau menyuruh mereka
cari kerja.” Kata Santi .
Keadaan hening lagi. Kensi membalikan badan dan....
“Auh!” Kensi langsung menutup mulutnya. Dia sangat kaget hampir saja menubruk
Herman.
Herman mengandeng Kensi ke ruang depan. Menyuruh
Kensi duduk dan menyalakan lampu.
“Ada pa sih, Om?” Kensi tak sabar.
“Kamu sebenarnya ingin kuliah, nggak?” Tanya Herman.
“Ya pingin. Kenapa sih Om? Kok Om tanya itu?” Tanya
Santi tak mengerti.
“Om mau membiayai kuliah kalian berdua. Tapi Om
harus bicara dulu sama Tante Mega.” Jawab Herman mantap.
“Oh...begitu....? Oke deh.” Kensi tersenyum senang.
BERSAMBUNG
Bagaimanakah kelanjutannya? Apakah Kensi
dan Mitha jadi kuliah? Untuk tahu kelanjutannya.......Bacalah pada bagian ke 2
yang akan hadir pada hari ‘Kamis’ mendatang. Oke.....
Hallo.....teman-teman,.....sekarang hari Kamis, saatnya saya melampirkan cerita bersambung 'Seribu Taktik' bagian ke 2......selamat membaca......
Mereka saling tatap dengan pandangan yang tajam.Mitha berusaha menyimpulkan dari tingkah mereka. Belum sempat Mitha menyimpulkan terpotong ucapan Kensi yang sangat tegas.
Mendapati perlakuan seperti itu Santi gugup juga. Namun dia mencoba bersikap setenang mungkin.
Santoso tampak sangat marah.Seperti ingin menelan Kensi mentah-mentah. Kensi berdiri sambil meletakkan sendok dan garpunya.
Kensi menghentikan langkahnya sambil mengangguk mantap.”Tapi biarlah. Saat ini kita di pihak yang lemah, kita tergantung pada pihak yang kuat. Selanjutnya biarlah waktu yang memutuskan.” Kensi melanjutkan langkahnya.
Santoso meletakkan sendoknya. Hati kecilnya membenarkan Kensi. Dia marah pada diri sendiri. Namun saat melihat Santi menunduk ketakutan hatinya luluh juga.
Kensi dan Mitha yang masih lapar akhirnya makan malam di penjual bakso langganannya. Mitha menumpahkkan kekesalan atas sikap papanya yang terpengaruh ibu tirinya. Namun Kensi selalu menghibur. Tidak kuliah bukanlah harga mati. Banyak orang sukses tanpa mengenyam bangku kuliah. Mereka tak ada pilihan jadi mau tak mau harus menerima kenyataan itu. Mereka harus membuang jauh-jauh keinginan untuk kuliah.
Namun ternyata harapan mereka hanya tinggal harapan. Santoso tetap bersikukuh tidak akan membiayai kuliah mereka, walau cuma salah satu. Santoso takut ancaman Santi yang akan melakukan gugatan cerai benar-benar dilakukan. Santoso tak dapat membayangkan kalau harus cerai dengan Santi.Cintanya begitu dalam melebihi dalamnya Samudera Atlantik sampai-sampai akal sehatnya hilang ditelan bumi.
Di kamarnya Kensi berbaring sambil memutar otak mencari cara agar Mitha yang mengambil kesempatan itu. Tapi sampai lama tak menemukan juga. Otaknya benar-benar tumpul. Mitha masuk kamar dan tiduran di samping Kensi.
Saat mereka sedang berdebat. Herman menelepon dan menanyakan keputusan, siapa yang akan mengambil kesempatan itu.
Dengan berbagai alasan Kensi itu, akhirnya Herman memutuskan agar Mitha yang kuliah dan tinggal di Jakarta. Herman segera menjemput Mitha. Walau hati sangat berat, mereka harus tetap berpisah. Kensi sangat sedih tapi bagaimana lagi?
BERSAMBUNG
Hallo.....teman-teman,.....sekarang hari Kamis, saatnya saya melampirkan cerita bersambung 'Seribu Taktik' bagian ke 2......selamat membaca......
SERIBU TAKTIK
(Novel/Cerita Bersambung) By Ami Daria
(Novel/Cerita Bersambung) By Ami Daria
Setelah berunding dengan istrinya, Mega.
Akhirnya Herman memberitahu lewat telpon hasil rundingannya, yaitu membiayai
kuliah salah satu dari mereka.
Dengan keputusan dari Herman tersebut,
Kensi dan Mitha berharap Papanya mau membiayai salah satunya juga sehingga keduanya
kuliah semua. Namun Santoso tetap pada keputusan semula.
Setelah berunding, akhirnya Mitha dan
Kensi bisa memutuskan, siapa yang akan kuliah, dan Herman datang menjemputnya.
Mitha dan Kensi
dinyatakan lulus. Saat makan malam mereka membahas mengenai jurusan yang akan
diambil saat kuliah nanti. Namun Santoso memutuskan tidak akan
menguliahkan kedua putrinya. Saat Mitha menanyakan alasannya, Santoso menjawab
tak punya biaya.
“Bukan karena pengaruh seseorang, Pa...?” Tanya
Kensi sambil melirik Santi yang duduk di sebelah santoso.
“Maksudmu?!” Santoso sangat kaget.
“Kensi nggak perlu menguraikan. Toh Papa udah tahu
sendiri....”
“Tidak usah berputar-putar. Apa maksudmu?” Santoso
mulai emosi.
Mereka saling tatap dengan pandangan yang tajam.Mitha berusaha menyimpulkan dari tingkah mereka. Belum sempat Mitha menyimpulkan terpotong ucapan Kensi yang sangat tegas.
“Kensi mendengar pembicaraan Papa di kamar saat
itu.” Jawab Kensi.
“Pembicaraan, apa?!” Santoso kaget.
“Ya...mengenai kuliah kami.” Kensi menjawab sambil
ekor matanya menghujam ke Santi.
Mendapati perlakuan seperti itu Santi gugup juga. Namun dia mencoba bersikap setenang mungkin.
“Papa benar-benar tak mengerti maksud pembicaraan
kamu?” Santoso pura-pura bingung.
“Bicara yang jelas. Jangan bertele-tele....” Kata
Santi.
“Kamu nggak berhak ikut bicara dalam masalah ini!”
Kata Kensi tegas.
“Kensi! Yang sopan kalau bicara dengan ibumu!”
Santoso sangat marah.
“Dia emang selalu begitu Pa...nggak pernah
menghargaiku sama sekali.” Kata Santi sambil merajuk manja.
“Bagaimana Kensi bisa menghargai? Kalau dia tak bisa
menghargai diri sendiri?” Kata Kensi gusar.
Santoso tampak sangat marah.Seperti ingin menelan Kensi mentah-mentah. Kensi berdiri sambil meletakkan sendok dan garpunya.
“Baiklah. Kalau bu tiri nggak mau mengaku
mempengaruhi Papa supaya nggak membiayai kuliah kami nggak apa-apa. Tapi
seharusnya Papa bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Jangan asal
menuruti kemauannya.” Kata Kensi sambil
meninggalkan meja makan.
“Benarkah? Ibu tiri mempengaruhi Papa agar enggak
membiayai kuliah kita?” Mitha seakan tak percaya.
Kensi menghentikan langkahnya sambil mengangguk mantap.”Tapi biarlah. Saat ini kita di pihak yang lemah, kita tergantung pada pihak yang kuat. Selanjutnya biarlah waktu yang memutuskan.” Kensi melanjutkan langkahnya.
Mitha menatap papanya penuh kecewa lalu berlari
mengejar Kensi.
“Mitha makan dulu...!” Teriak Santoso.
“Nggak laper Pa....” Jawab Mitha dari jauh.
Santoso meletakkan sendoknya. Hati kecilnya membenarkan Kensi. Dia marah pada diri sendiri. Namun saat melihat Santi menunduk ketakutan hatinya luluh juga.
“Papa marah padaku?” Tanya Santi ketakutan.
Santoso mengeleng sambil tersenyum. “Apa yang sudah
kuputuskan nggak bisa diganggu gugat.”
Santi tersenyum lega.
Kensi dan Mitha yang masih lapar akhirnya makan malam di penjual bakso langganannya. Mitha menumpahkkan kekesalan atas sikap papanya yang terpengaruh ibu tirinya. Namun Kensi selalu menghibur. Tidak kuliah bukanlah harga mati. Banyak orang sukses tanpa mengenyam bangku kuliah. Mereka tak ada pilihan jadi mau tak mau harus menerima kenyataan itu. Mereka harus membuang jauh-jauh keinginan untuk kuliah.
Pagi hari Kensi
mendapat telepon dari Herman, yang menyatakan bersedia membiayai kuliah tapi cuma
salah satu dari mereka. Kensi langsung menuju kamar Mitha untuk
memberitahukan hal itu. Mitha yang sedang dandan sampai kaget.
“Aku dapat kabar gembira dari Om Herman.” Teriak
Kensi gembira.
“Kabar gembira apaan?” Mitha penasaran.
“Om Herman mau membiayai kuliah kita.....” Jawab
Kensi masih ceria.
“Alhamdulillah.....benarkah?” Mitha seakan tak
percaya.
“Benar.Tapi...” Kensi tak melanjutkan omongannya.
“Tapi kenapa...?” Mitha penasaran.
Kensi hanya diam, tak mampu mengatakan hal yang
sebenarnya.
“Kensi....tapi kenapa...?” Mitha makin penasaran.
“Om Herman bersedia membiayai kuliah tapi cuma salah
satu dari kita. Enggak keduanya. Kalau begitu kamu aja yang kuliah.” Kata Kensi
pelan.
“Hanya salah satu dari kita? Kalau begitu kita ngomong
sama papa. Siapa tahu mau membiayai
satunya. Jadi kita berdua bisa sama-sama kuliah. Bagaimana?” Usul Mitha.
Namun ternyata harapan mereka hanya tinggal harapan. Santoso tetap bersikukuh tidak akan membiayai kuliah mereka, walau cuma salah satu. Santoso takut ancaman Santi yang akan melakukan gugatan cerai benar-benar dilakukan. Santoso tak dapat membayangkan kalau harus cerai dengan Santi.Cintanya begitu dalam melebihi dalamnya Samudera Atlantik sampai-sampai akal sehatnya hilang ditelan bumi.
Di kamarnya Kensi berbaring sambil memutar otak mencari cara agar Mitha yang mengambil kesempatan itu. Tapi sampai lama tak menemukan juga. Otaknya benar-benar tumpul. Mitha masuk kamar dan tiduran di samping Kensi.
“Aku sudah memutuskan agar kamu aja yang kuliah.”
Kata Mitha.
“Sama. Aku juga udah memutuskan agar kamu yang
kuliah.” Jawab Kensi santai.
“Ya enggak...kamu aja....aku nggak mungkin kuliah
sementara kamu enggak...” Kata Mitha lagi.
“Sama. Apalagi aku. Aku nggak mungkin meninggalkan
kamu tinggal bareng ibu tiri....makin merajalela dia....Mendingan aku yang
disini. Ibu tiri kan takut sama aku.....” Kata Kensi sambil tertawa geli.
“Kalau begitu kita nggak usah kuliah dua-duanya.” Kata
Mitha.
“Jangan! Ada kesempatan emas harus dimanfaatkan.
Kamu aja...kalau aku sih...sebenarnya nggak pingin kuliah. Capek....tiga belas
tahun belajar melulu. Otak ini mau jebol rasanya.” Kata Kensi.
“Ah...itu sih alasan kamu doang....” Kata Mitha sambil
tertawa.
Saat mereka sedang berdebat. Herman menelepon dan menanyakan keputusan, siapa yang akan mengambil kesempatan itu.
“Mitha aja Om.....masalahnya Mitha takut sama mak
lampir.....kan gawat. Kalau aku, justru
mak lampir yang takut padaku. Jadi kan aman.” Jawab Kensi sambil tertawa.
“Siapa mak lampir?” Herman tak mengerti.
“Ya....ibu tiri Om....siapa lagi....?” Kata Kensi
sambil tertawa geli.
“Oh.........ibu tiri kalian galak, ya....?”
“Sangat Om......terutama sama Mitha. Mitha kan
terlalu lemah lembut. Dia bisanya cuma iya iya doang. Padahal ibu tiri kan
termasuk kategori orang super egois and galak.” Jawab Kensi.
Dengan berbagai alasan Kensi itu, akhirnya Herman memutuskan agar Mitha yang kuliah dan tinggal di Jakarta. Herman segera menjemput Mitha. Walau hati sangat berat, mereka harus tetap berpisah. Kensi sangat sedih tapi bagaimana lagi?
Santoso tak dapat berbuat apa-apa. Dia hanya
berharap itu yang terbaik untuk Mitha. Sementara Santi bersorak penuh
kemenangan. Satu sudah pergi...Tinggal kamu Kensi....Kamupun harus pergi dari
rumah ini. Kata Santi dalam hati.
Herman dan
Mitha sampai di rumah, sudah ditunggu Mega, Munah dan Zahra.
Herman memberi salam sambil masuk rumah.
“Ma...ini Mitha....Zahra...ini mbak Mitha.....” Kata
Herman.
“Tante....bu Munah....dik Zahra...pa kabar.....”
Kata Mitha sambil salaman dengan mereka.
“Ini mbak Mitha ya.....asyik...Zahra ada
temannya.....” Zahra terlihat sangat antusias.
“Betul. Mbak akan menjadi teman Zahra....” Kata
Mitha sambil menjawil pipi Zahra, gemas.
Sebaliknya Mega dan Munah dingin dingin saja. Mereka
sama sekali tidak mempersilahkan Mitha duduk. Mitha menyadari kalau
kehadirannya tidak diinginkan mereka. Namun bagaimana lagi? Semua sudah
terlanjur. Mitha cuma berharap suatu saat nanti mereka akan menyukainya.
BERSAMBUNG
Benarkah mereka akan menyukai Mitha yang
lemah lembut itu? Untuk tahu jawabannya. Bacalah bagian 3 yang akan hadir pada hari ‘Kamis’
mendatang. Oke.....
Sekeras apapun usaha Mitha mencari
simpati, tetap gagal apalagi motivasi Mega dan Munah, tidak ingin uang Herman
berkurang untuk membiayai kuliah Mitha. Begitu banyak cara untuk mencari-cari kesalahan
Mitha. Sanggupkah Mitha menghadapi semua ini?
Betapa bahagia
hati Mitha. Akhirnya dia kuliah juga. Besok hari pertama dia mau kuliah naik
angkot.
Biasanya diantar Herman sekalian ke kantornya. Tapi Mitha tak enak hati kalau
harus diantar terus, seperti anak kecil.
Herman menyuruh Mitha minta uang ke Mega untuk
ongkos naik angkot. Walau ragu juga malu, Mitha memberanikan diri menemui Mega
di kamarnya.
Namun langkah Mitha terhenti saat mendengar
pembicaraan Munah dan Mega.
“Nggak usah dikasihkan. Enak aja....emangnya dia
anak siapa? Masih untung kuliah udah dibiayai, masa transport kamu juga yang
kasih......Nggak usah dikasih.” Munah mengkompori Mega.
“Ya kalau Mitha nanti kesini, Kukasih dulu buat
seminggu. Setelah itu ya...nggak usah....” Kata Mega.
Mitha ragu-ragu untuk masuk. Aduh....gimana,
ya? Mungkin sebaiknya aku nggak usah
minta uang tante Mega aja. Nggak enak hati.
“Tante....Mitha berangkat kuliah dulu, Tante.....”
Mitha bicara di depan pintu kamar.
“Iya......”Jawab Mega dari dalam kamar.
“Siip! Nggak usah dikasih uang transport.” Munah
mengacungkan jempol.
Mega hanya tersenyum sambil keluar.
Mitha mendekati Zahra yang sedang nonton TV. “Hallo
Zahra sayang....mbak Mitha berangkat kuliah dulu,ya......”
Bukannya menjawab, Zahra malah lari ketakutan. Mitha
kebingungan. Kenapa Zahra ketakutan padaku? Wajahku kan nggak menakutkan.
Malah...masuk kategori imut...kok aneh....kenapa, ya?Mitha bertanya dalam hati.
Dalam angkutan
Mitha sms Kensi. “Kensi....Tante Mega nggak mau kasih uang buat
transport....Hari ini sampai seminggu aku ada uang sih...tapi bagaimana kalau
uangku ini habis? Masa aku jalan kaki?”
Mitha turun
angkutan, sambil jalan kaki masuk pintu gerbang dia membaca balasan sms Kensi.
“Tenang aja Mitha...nanti siang aku transfer duit ke rekening kamu,
ya......Yang penting kuliah yang bener.”
Mitha tersenyum
lega, masih sambil jalan menuju kelas.Tiba-tiba Diit diit.........! sebuah
mobil melintas disebelahnya.
“Kalau jalan jangan
sambil ngelamun mbak......” Teriak pemilik mobil.
Mitha hanya melotot
sambil mengacungkan tinju. Pemilik mobil
hanya tertawa ngakak. Begitu turun dari mobilnya ditempat parkir, dia langsung
mengejar Mitha
“Hallo! Mahasiswi
baru, ya...” Tanya dia.
“Yap! “Jawab Mitha
dengan cueknya
“Kenalkan. Nama gue
Hendra, elu siapa?” Tanya Hendra sambil mengulurkan tangan.
“Tami.....” Jawab
Mitha memasukan hp ke tas kuliahnya dan mempercepat jalannya.
“Tami? Kok seperti
nama orang tua? Oh ya, gue juga mahasiswa baru kok.” Katanya lagi sambil
mempercepat langkahnya sehingga sejajar dengan Mitha.
“Perasaan tadi aku nggak
tanya, kok kamu menjawab?” Kata Mitha lagi.
Hendra hanya angkat
bahu sambil tersenyum.
Ini cewek kok cuek
banget, ya....? Kata Hendra dalam hati.
Biasanya kalau
cewek didekati dia langsung klepek-klepek. Cewek ini kok beda. Hendra jadi
penasaran. Memang Hendra tampan, mirip-mirip Aliando.Tak heran kalau banyak
cewek yang langsung suka pada pandangan pertama. Tapi yang ini beda..
Pulang kuliah
Mitha ingin berbaring sejenak.
Tadi berdesakan dalam bis, dengan begitu banyak aroma minyak wangi murahan, membuatnya
sedikit mual. Namun belum sempat Mitha masuk kamar, yang ada di belakang dekat
dapur, Munah memanggilnya dengan cara berteriak.
“Mitha.....! Sini!”
Teriak Munah.
“Iya Oma.........”
Mitha berlari kecil mendekati tempat duduk Munah, di ruang tengah.
“Oma...Oma...emangnya
gue Oma elu? Elu kalau manggil gue itu Nyonya Besar....jangan Oma....” Kata
Munah dengan sombongnya.
“Baik Nyonya
Besar......” Mitha tersenyum geli. Badan kurus kering plus keriput ala dahan
kering kok minta dipanggil nyonya besar.....ya nggak nyambung.....kata Mitha
dalam hati sambil menyembunyikan senyumnya. Tapi tak apa. Biar dia senang.
Membuat orang senang kan mendapat pahala.
“Bengong! Itu
cucian dicuci semua.....melihat baju kotor menumpuk, kepala jadi pusing.....!”
Munah tolak pinggang.
“Baik....Nyonya
Besar....” Jawab Mitha sambil ke dapur
tempat baju kotor menumpuk.
Mitha mencuci baju
itu dengan mesin cuci. Sambil menunggu mesin cuci bekerja, Mitha mencuci
piring, gelas, mangkok, semua peralatan dapur yang kotor.
“Makan Mitha...itu
lauknya di lemari, ya....?” Mega tiba-tiba sudah berdiri di belakang Mitha.
“Iya
Tante....makasih.” Jawab Mitha.
“Hem.......” Mega
beranjak pergi.
Selesai mencuci
semua peralatan dapur, Mitha bermaksud makan. Memang sebenarnya perut sudah
keroncongan minta diisi. Namun rasanya kurang etis kalau belum mengerjakan
sesuatu langsung makan.
Sebelum makan Mitha
sms Kensi. “Apa kabar Kensi....ini aku baru pulang kuliah, langsung mencuci
seabrek baju kotor. Mencuci peralatan dapur dll.”
“Kabar baik Mithaku
peang.....Alhamdulillah kamu udah pulang kuliah dengan selamat. Cuci baju juga
peralatan dapur bukan pekerjaan berat, bukan? Jalani semua itu dengan ikhlas.
Oke.....” Balas Kensi.
“Oke deh.....untung
dulu ibu tiri kita galak, ya...jadinya aku menemukan orang galak seperti dia,
udah nggak kaget. He..he..he..” Balas Mitha lagi.
“Betul betul betul.
Ternyata begitu banyak orang yang galak ala ibu tiri....tak apa. Yang penting
kamu masih bisa melakukan semua itu. Masih bisa makan, tidur, dan kuliah
tentunya....” Balas Kensi.
Mitha jadi malu
pada diri sendiri. Maksud hati mau mengeluh karena begitu banyak kerjaan rumah.
Tapi Kensi malah menyuruhnya mensyukuri semua itu. Dipikir-pikir memang benar kata
Kensi.
Ada sms masuk lagi
“Oh ya, Mitha....tadi aku udah transfer buat transport. Gunakan sebaik-baiknya,
ya.....bye....”
“Oke....makasih
banyak Kensiku peang.....” Mitha tersenyum lega.
Mitha sangat
bersyukur memiliki saudara kembar yang begitu menyanyanginya. Mitha jadi bisa menerima
semua itu dengan lapang dada. Bersyukur masih bisa kuliah. Mengerjakan semua
itu anggap saja sebagai gantinya biaya kuliah yang dikeluarkan Om Herman.
Mitha mengambil
nasi lalu membuka lemari lauk. Tampak semangkok sayur asem, ikan asin dan tempe
goreng.
“Alhamdulillah.....masih
ada nasi beserta lauk untukku makan siang....” Mitha mulai makan.
“Tadi beli ayam
cuma setengah kilo jadi elu nggak kebagian.....” Kata Munah yang kedapur
mengambil air minum.
“Iya Nyonya
Besar.....ini sudah lebih dari cukup kok.....” Mitha makan dengan lahapnya.
“Hem....” Munah
mencibir sambil melangkah pergi.
Nyonya besar tapi
badannya kurus kering plus keriput ala dahan kering he..he..he..Mitha tertawa
geli. Hampir saja dia tersedak. Dalam benak Mitha, Nyonya Besar itu, gendut,
berkulit putih, pakai kaca mata. Jadi terkesan orang kaya, sukses. Lha
ini......??
Mitha memang selalu
sms Kensi atas segala sesuatu yang di kerjakan. Keadaan keluarga Herman,
beserta tabiat masing-masing anggota keluarga. Satu hal yang menganjal dalam
pikirannya, adalah Zahra yang masih takut padanya. Kenapa? Mitha juga tak
mengerti. Mitha gemas melihat Zahra yang imut, tapi kenapa Zahra takut melihat
dirinya? Aneh.......
Hari ini hari Minggu.
Setelah menyapu, mencuci semua peralatan dapur dan sarapan, sekarang Kensi bersantai
di kamar sambil mengotak-atik hpnya mencari lowongan kerja. Masa nggak ada lowongan kerja untuk
pendidikan SMA? Ada...tapi kok pelayan toko.....Sekolah sampai dua belas tahun,
buntut-buntutnya ya begini juga.....cari kerja!
“Kensi....! Tuh!
Dipanggil Papamu!” Terdengar Santi mengetuk pintu.
“Baik Nyonya
Besar.....” Kensi melompat dari tempat tidur. Kalau ini dipanggil nyonya besar
lebih pantas. Kan perutnya besar.......Kensi tersenyum sendiri dengan
kesimpulannya.
Kensi menghampiri papanya yang sedang baca
koran di teras.
“Ada apa, Pa.....?”
Kensi duduk dikursi sebelah Santoso.
“Begini....papa
perhatikan tiap hari kamu kok di kamar...melulu. makan tidur makan tidur. Bosan
papa melihatnya. Mbok coba kamu cari kegiatan....atau cari kerja.” Kata Santoso
sambil meletakkan korannya.
“Kok papa bilang
bosan melihatku setiap hari makan tidur makan tidur, memang kapan Papa
melihatku? Kan papa berangkat pagi pulang malam?” Kensi penasaran.
Santoso tertegun.
Kensi tahu kalau papanya dapat pengaduan dari ibu tirinya.
“Ini uang jatah
bulanan kamu. Cuma tiga bulan. Setelah ini kamu harus kerja.”
“Papa kan pengusaha
sukses....apakah Papa nggak bisa membantuku cari kerja? Di teman-teman bisnis
papa misalnya?”
Untuk kedua kali
Santoso hanya diam terpaku.
“Kalau dikit dikit
Papa....kapan kamu akan mandiri....?” Kata Santi, yang tiba-tiba sudah ada di
belakang Kensi.
“Aku maunya Papa
memberiku kail. Bukan ikan....” Kata Kensi lagi.
“Apa maksudmu?” Santi tak mengerti.
“Kamu tak akan
paham. Tapi aku yakin, Papa pasti paham......” Jawab kensi.
Santi tampak sangat
tersinggung. Namun Kensi tampak santai saja mendapati Santi yang mengeram bagai
ayam siap bertelur. Mendapati hal itu Kensi malah tertawa geli.
“Oh ya Pa...mana
buat Mitha.....” Kensi mengeladahkan tangan.
“Mitha? Bukannya
Mitha sudah diurus Herman?” Tanya Santoso kaget.
“Tante Mega kan
sebelas dua belas sama ibu tiri.....”Kata Kensi sambil mengerling Santi.
“Maksudmu?”
“Sama-sama pelit Pa......Duit
bukan haknya. Tapi maunya menguasai......sama Om Herman disuruh kasih uang
transport tapi nggak dikasihkan. Ditilep sendiri....sama tuh....” Kensi
menyindir Santi.
“Sudah.....kamu
sukanya mencari-cari kesalahan ibumu.” Kata Santoso.
“Sebaiknya kamu
cari kerja secepatnya. Biar jangan suka cari kesalahanku. Kurang kerjaan aja.”
Santi mengerutu cari muka pada Santoso.
“Benar ibumu. Kamu
memang harus cari kerja. Biar nggak
sibuk cari kesalahan orang lain.” Kata Santoso.
“Aku nggak kaget,
Pa. Aku sudah menduga Papa pasti mendukung dia. Pokoknya apapun kata dia, Papa
setuju seratus persen. Kalau perlu menjebur ke jurang juga Papa temani. Iya,
Kan?” Kata Kensi tenang.
“Kensi! Lama-lama
kamu makin kurang ajar!” Santoso emosi.
“Tenang
Pa.....Kensi sedang cari cari lowongan kerja. Kalau udah dapat Kensi langsung
cabut dari rumah ini. Bukankah itu yang ibu tiri inginkan?”
“Kamu memang
benar-benar......” Santoso tak melanjutkan kata-katanya, tak sanggup menahan
sesak dalam dada.
“Berarti Kensi
benar ya Pa...?Oh ya, Pa....gimana? Mitha mau dikasih duit, nggak...?”
“Ini. Langsung kamu
transfer, ya......” Santoso menyodorkan uang pada Kensi.
“Beres Pa.Makasih.....”
Kensi menerima uang itu dan berlari masuk rumah.
Santoso hanya
gelengg-geleng kepala. Satu sisi dia membenarkan Kensi. Tapi sisi satunya lagi,
ingin menuruti semua keinginan istri tercinta.
Di kamarnya
Kensi mengotak-atik hp lagi.
“Hah? Lowongan sebagai penyiar radio....well well well...semua syarat-syarat
ini, kayaknya aku memenuhi.....” Kensi tertawa senang.
BERSAMBUNG
mantap bu blognyaa
BalasHapusIya sama-sama. Makasih atas kunjungannya.
Hapus