BEKAS MENANTU (Cerpen) By Ami Daria
BEKAS MENANTU
(Cerpen) By Ami Daria
(Cerpen) By Ami Daria
Sebenarnya cerpen 'Bekas Menantu' pembaharuan ulang dari cerpen 'Dewi Benalu Wati' (2014). Waktu iseng-iseng membacanya aku bingung, kok cerpennya cuma segitu? Pada kemana? Padahal sebenarnya panjang....untung aku kalau nulis cerpen, di Word dulu baru di copy ke blog. Jadinya sekarang aku copykan aja dari Word., yang kebetulan masih tersimpan.
Memang tahun 2014 aku baru belajar membuat blog....jadinya masih banyak kesalahan, maklum deh hehehe.Apalagi saat itu jaringan Internet di tempatku susah.....sekali. kalau mau membuka blog harus tengah malam, di teras rumah,...kadang saat aku sedang mengeblog tolah-toleh ke belakang....takutnya ada yang menyapa .."Sedang apa mbak...?hi hi hi" Serem.........
Aku
ini seorang pengamat. Mengamati keadaan sekeliling tempat tinggalku. Semua tak
lepas dari pengamatanku.Termasuk bulek
Anisa, bulekku sendiri, adik kandung ayahku. Yang menjadi focus
pengamatanku bukan bulek Anisa, wanita sederhana berusia 70an, tapi Ningsih,
bekas menantunya yang masih tinggal
bersama bulek Anisa. Sebenarnya suaminya Ningsih, yang berarti anak
kandung bulek Anisa, sudah lama meninggal, sekitar 10 tahun. Makanya tetangga kalau
menyebut Ningsih itu bekas menantu bulek Anisa. Bulek Anisa sendiri tidak
perduli dia bekas menantu atau bukan. Yang jelas Ningsih tidak punya tempat
tinggal, kedua oraang tuanya sudah meninggal, saudara-saudaranya jauh, dan
kehidupannya belum mapan, dalam arti secara ekonomi hanya cukup untuk makan.
Rasanya tak kan mungkin untuk mengusir Ningsih.
Saat suaminya meninggal dunia, Ningsih belum punya rumah. Masih tinggal di pondok mertua indah. Waktu itu Ningsih jualan sayur di pasar. Tapi walaupun Ningsih dagang, segala kebutuhan sehari-hari Ningsih dan kedua anaknya ditanggung bulek Anisa. Bulek Anisa hanya berharap Ningsih bisa menabung sehingga bisa membuat rumah sendiri, dan untuk tanahnya,bisa ambil bagian suaminya yang diwariskan pada kedua anaknya.
Saat itu aku bermain ke rumah bulek
Anisa. Beliau bingung juga judeg dengan keadaan Ningsih. Berdagang selama
bertahun-tahun bukannya mendapatkan untung tapi malah buntung. Berkali-kali
bulek memberi tambahan modal, tapi tetap
saja buntung. Bahkan utang Ningsih pada orang-orang pasar sangatlah besar, dan
bulek Anisa yang menyaurnya, daripada Ningsih dicaci maki orang.
“Aku bingung, Ros…..dagang selama
bertahun-tahun bukannya untung yang didapat. Tapi hutangnya yang tambah banyak.Menurutmu
sebaiknya, bagaimana?”
Aku diam beberapa saat. Bingung untuk memberikan saran. Tapi akhirnya aku memberikan saran sesuai kata hatiku. “Kalau memang nggak dapat untung, mungkin lebih baik Ningsih berhenti berdagang, bulek.”
Setelah berpikir sejenak, bulek Anisa
bicara. “Kupikir benar katamu. Sebaiknya Ningsih berhenti dagang. Tapi lalu dia
mau kerja, apa?”
Aku hanya diam. Tak tahu harus menjawab apa. Masalah kerjaan Ningsih berikutnya hanya Ningsih sendiri yang tahu.
Yang masih jadi tanda tanya bagiku adalah,
selama dagang, kemana keuntungan Ningsih selama ini? Setiap minggu bulek Anisa
memberikan modal, tapi bukannya dapat untung tapi malah buntung. Mungkin karena Ningsih melanggar pantangannya
orang berdagang. Menurut kepercayaan orang Jawa, orang yang mata pencariannya
berdagang, tidak boleh mengeluh. Kalau mengeluh sama saja tidak mensyukuri
rejeki dari Allah, sehingga tidak berkah. Dan dagang kalau tidak berkah, maka
duitnya tidak bisa ngumpul, alias gampang habisnya.
Mengenai mengeluh. Ningsih paling jagonya.
Andai ada lomba mengeluh, kukira Ningsih bisa dapat juara satu. Tiap mengeluh,
katanya dagang capek, tapi hasilnya tidak seberapa. Itu menunjukkan dia tidak
ada rasa bersyukur sama sekali. Tiap hari tidak dapat untung. Badan capek semua, nggak punya waktu untuk istirahat, dan lain sebagainya,
yang pada intinya mengeluh.
Sudah sering aku menasehati agar jangan
sering mengeluh. Tapi susah. Memang sudah tabiatnya, bawaan dari lahir, bawaan
dari genetika. Kadang mengeluhnya sampai diluar nalar. Dia bilang, badannya
pegel semua karena di rumah mertuanya, semua pekerjaan rumah, dia yang
mengerjakan, sepulangnya dari dagang, sedangkan mertua dan adik iparnya hanya
bersantai-santai ria.
Hem…yang aku herankan, kenapa dia berani
bercerita seperti .itu padaku? Padahal aku kan keponakan bulek Anisa. Aku juga
sering kesana saat Ningsih pulang dagang. Jadi aku sangat tahu, kalau pulang
dagang dia akan makan lalu tidur sampai jam lima sore. Bangun tidur dia mandi
dan makan malam. Jadi sama sekali tidak pernah bantu pekerjaan rumah, tapi
mengeluhnya, badan pegal semua, mengerjakan semua pekerjaan rumah. Benar-benar
mengarang indah.
Aku tidak pernah tanya. Dia yang cerita,
tapi ceritanya bohong semua. Biasanya sebagai penutup cerita-cerita itu, adalah
mengkambing-hitamkan adik iparnya, Ida, yang masih tinggal serumah dengan dirinya.
Katanya, Ida itu pemalas.Tidak pernah mau bantu pekerjaan rumah,dan itu dikatakan pada semua tetangga, termasuk
aku.
Setelah berhenti dagang, Ningsih beralih
profesi jadi tukang ceramah.Tiap hari dia berceramah dari tetangga satu ke
tetangga yang lain. Menyebarkan cerita basi. Temanya selalu sama. Badan pegal
semua karena di rumah mertua mengerjakan semua pekerjaan rumah tanpa pernah
punya waktu untuk istirahat. Tapi kali ini ada tambahan tema. Lumayan, temanya
sudah berkembang. Tapi yang jadi peran utamanya tetap saja Ida, adik iparnya.
“Ibu nggak mau kasih tambahan modal, ini
pasti pengaruh Ida. Pasti. Siapa lagi?” Kata Ningsih.
Aku tersenyum. “Mbok jangan suka
bernegatif thinking pada Ida, nggak
baik…..”Kataku.
“Lha siapa lagi yang bisa mempengaruhi
Ibu? Ida kan iri melihat aku tiap minggu dikasih uang.”
“Kalau menurutku, bukan pengaruh Ida,
tapi memang atas kemauan bulek sendiri Bulek kan tahu selama kamu berdagang
bertahun-tahun tidak dapat untung sama sekali tapi malah banyak utang. Malah
kata bulek, ada orang pasar yang nagih utang ke rumah dan disaur oleh bulek.”
Ningsih belum bicara lagi, ketika Ida
lewat dan mampir ke rumahku.
“Mbak Rosa, punya nangka muda, nggak?
Permisi……” Ida menyelonong masuk.
“Ada mata-mata datang. Aku pulang dulu.”
Kata Ningsih sambil melangkah keluar. Mereka berpapasan tapi saling diam.
“Nangka muda buat apa? Mau buat sayur lodeh?”
Tanyaku sambil menghampiri Ida.
“Ah. Itu tadi kan hanya basa-basi. Ibu
penasaran. Wong saatnya masak, kok dia nggak ada. Kemana….? Sebenarnya aku mau
beli trasi. Tapi aku lihat sandalnya Dewi didepan, jadi aku mampir.” Kata Ida sambil tertawa.
“Dewi? Siapa itu Dewi?”Aku bingung.
“Ya…..yang tadi ngerumpi disini….?” Kata
Ida sambil tersenyum nakal.
“Maksudmu Ningsih? Nama lengkapnya
Sriningsih, kan? Nggak ada Dewinya?”
“Itu nama aslinya. Tapi aku ganti kok.
Aku sesuaikan dengan sikonnya.” Kata Ida sambil tersenyum.
“Sikon yang bagaimana maksudmu? Kok bisa
jadi Dewi?” Aku penasaran.
“Nama pemberianku bagus kok mbak.
Dewi…bena..lu wati. Pas sekali, kan? Dewi benalu wati. Ingat ya, mbak? Ya udah
aku pergi dulu. Mau beli trasi buat bikin sambal. He..he..he..” Kata Ida sambil
tersenyum nakal.
“Dewi…benalu…wati…” Mengeja nama itu aku
jadi tertawa sendiri. Memang nama itu cocok buat Ningsih. Benalu buat keluarga
bulek Anisa, khususnya buat Ida yang selalu dikambing-hitamkan. Hem…memang
cocok. Aku buru-buru menutup pintu agar Ningsih tidak datang lagi dan ngosip
tak karuan, bikin dosa.
Sebenarnya aku sudah sangat bosan dengan
sikapnya, yang selalu mengeluh, katanya dirumah mertuanya dijadikan pembantu
tanpa bayaran sepersenpun, sambil menjelek-jelekan Ida dan bulek Anisa.
Membosankan. Katanya bulek Anisa dan Ida hanya bersantai ria saat dia masak.
Apa tidak terbalik? Justru disaat bulek Anisa dan Ida masak, Ningsih malah
sibuk ngerumpi ke tetangga. Sebenarnya banyak tetangga yang saat diajak
ngerumpi, menyingkir secara berlahan. Tapi dia tidak menyadari hal itu. Dan
pelarian terakhirnya ya…ke rumahku. Pernah pintu aku kunci. Dia ketuk pintu
keras dan lama sekali. Tapi tetap tidak kubuka. Dia kelihatan cemberut. lucu.
Aku mengintip dari balik korden.
Kadang aku suka geli melihat tingkahnya.
Kok ada, ya? Makhluk seperti itu di dunia ini? Dia tidak pernah mau bercermin,
kalau selama ini kebutuhan dirinya dan kedua anaknya ditanggung bulek Anisa.
Dari uang sekolah, jajan, pakaian, semuanya. Tapi ya….itu. Dia tidak pernah
menunjukkan sikap baik. Dia tidak pernah tahu rasa terima kasih.Yang ada hanya
mengeluh, iri hati dan ingin meminta dan
meminta tanpa pernah berniat untuk memberi.
Pada saat lebaran, semua anak bulek
Anisa pulang. Kesempatan bagi bulek Anisa mencari solusi merubah nasib Ningsih.
Sukoco salah satu putra bulek Anisa menyarankan agar Ningsih menjadi pembantu
di rumah adik iparnya di Semarang. Tapi bulek Anisa kurang setuju. Bagi bulek
lebih baik Ningsih berdagang. Menjadi pembantu terlalu rendah, apalagi keluarga
bulek Anisa termasuk keluarga terpandang. Ida dan adiknya, Arum sependapat dengan bulek Anisa.
Tapi Sukoco tetap bertahan dengan idenya, karena menurut Sukoco, Ningsih itu
tipe orang yang bekerja dengan okol, bukan dengan akal.
Akhirnya Ningsih dipanggil agar dia menentukan
sendiri apa yang diinginkan.
Setelah Ningsih duduk, bulek Anisa mulai
bicara. “Begini Ning….kamu sudah lama menganggur, tentunya ingin kerja agar
dapat uang sendiri, kan?”
“Ya, iya lah bu…..Kadang aku ingin beli
baju baru tapi nggak punya uang. Lha pekerjaan apa, bu?” Ningsih balik
bertanya.
“Maksud ibu….kamu jualan ayam matang.
Ada yang disemur, direndang, digoreng. Kamu keliling atau setorkan ke
warung-warung.”
“Alah! Ibu ini senengnya bikin aku
payah!” Ningsih memengal omongan bulek Anisa.
Sukoco, Ida dan Arum saling pandang. Ida
yang sudah hafal tabiat Ningsih hanya tertawa kecil.
“Ya sudah…kalau kamu nggak mau berjualan
ayam matang. Itu Sukoco ada kerjaan.” Kata bulek Anisa penuh kesabaran.
“Kerjaan apa, Co?”Tanya Ningsih.
Almarhum suami Ningsih meruapakan anak sulung bulek Anisa. Jadi Ningsih
memanggil Sukoco namanya, karena posisinya adik ipar.
“Adik iparku di Semarang butuh pembantu
buat mengurus anaknya yang masih kelas satu SD. Tugas mbak Ningsih antar-jemput
sekolah anaknya dan juga mengurus rumah..” kata Sukoco tampak ragu-ragu.
“Ayah ibunya kerja semua?”
“Ya. Ibunya berangkat jam 8 pagi dan
pulang jam 4 sore. Ayahnya malah berangkat lebih pagi dan pulangnya malam. Jadi
kalau siang mbak Ningsih di rumah cuma berdua dengan anaknya. Kalaupun mbak
Ningsih masak, ya untuk dimakan sendiri.”
“Lha….itu dia. Aku paling suka kalau
kerja pada keluarga yang suami istri kerja semua. Jadi aku di rumah sendiri.
Aku bisa bebas tidur sepanjang hari….”Kata Ningsih gembira.
Sukoco, Ida dan Arum saling pandang sambil melempar senyum.
“Dasar pemalas. Yang dipikirkan Cuma
tidur sepanjang hari.” kata Ida lirih. Arum segera menyikut.
“Gajinya, berapa?” Tanya Ningsih
penasaran.
“Rp. 500.000. Kadang seminggu sekali
dikasih uang jajan. Nggak tahu, berapa?” Jawab Sukoco.
“Sedikit sekali. Kupikir satu juta.”
Kata Ningsih kecewa.
“RP. 500.000, kamu bilang sedikit.
Apakah selama ini kamu bisa kerja dengan penghasilan di atas Rp. 500.000?” Kata
bulek Anisa agak emosi.
Ningsih cuma diam.
“Itu kan baru permulaan, mbak….nanti
lama kelamaan gajinya juga naik.” Kata Sukoco.
“Iya deh. Daripada dirumah, sama-sama
capek tapi nggak dapat bayaran sedikitpun.”Kata Ningsih pelan.
Ida bangkit dari duduknya, tampak marah.
Tapi Arum buru-buru menepuk pundaknya.
Sehari sebelum berangkat ke Semarang,
Ningsih berkunjung ke rumahku. Biasa…sekedar
ngerumpi.
“Kalau nanti kamu sudah kerja, bisa
dong….kirimkan sedikit uang buat keperluan sekolah Tono.” Kataku.
Tono adalah anaknya Ningsih yang bungsu. Dia masih duduk di bangku SMK. Seluruh biaya sekolah, dari uang gedung, SPP dan uang transport serta uang saku ditanggung bulek Anisa semua.
“Enak aja. Masa aku yang menangung biaya
sekolah Tono?” Kata Ningsih emosi.
“Lha iya, lah…..anak kan tanggung jawab
orang tuanya.” Jawabku heran
“Anak itu tanggung jawab ayahnya. Maka
kalau ayahnya meningal, jadi tanggung jawab orangtua ayahnya. Bukannya
aku….”
“Anak itu tanggung jawab orang tuanya.
Ya..ayah dan ibunya. Bukan neneknya. Aneh…” Aku tak mau kalah.
“Maksudmu aku yang bertanggung jawab
pada Tono? Ya, rugi….bayaranku Cuma 500.000, kalau buat kebutuhan Tono ya,
habis. Terus aku dapat apa? Aku kan ingin beli baju yang bagus-bagus. Cuci
muka, perawatan, beli bedak….pokoknya Tono tanggung jawab Ibu….”
“Kok begitu, sich?” Tanyaku heran.
“Kalau nanti bayaranku diambil buat
bayar SPP Tono, lebih baik aku nggak usah kerja.Daripada capek nggak dapat
apa-apa.” Kata Ningsih marah.
“Terserah kamu Ningsih….aku nggak
ikut-ikutan.” Kataku sambil tertawa geli.
Kok ada ibu seperti ini, ya….? Aneh tapi nyata. Ningsih seorang wanita setengah baya.
Selama ini menumpang di rumah
bulek Anisa secara financial. Tapi di saat ada kesempatan untuk mandiri atau
paling tidak meringankan beban bulek Anisa, dalam membantu biaya sekolah Tono,
anaknya, Ningsih malah tidak mau. Tidak ingin bayarannya berkurang sedikit.
Aneh tapi nyata. Dia menginginkan bayarannya untuk kebutuhan dirinya. Seperti
remaja yang baru bekerja. Menikmati hasil kerjanya.
Tiga tahun telah berlalu. Aku, seperti
biasa, silaturahmi ke rumah bulek Anisa, sekedar memberikan buah nangka, buah
kesukaan keluarga bulek Anisa. Kami duduk di teras belakang.
“Ros. Kamu tahu, ya? Kalau Ningsih
pulang?” Tanya bulek Anisa.
“Nggak bulek. Memangnya Ningsih, pulang?
Dalam rangka apa?”
“Katanya ingin menengok Tono. Mumpung
hari Minggu. Kedua majikannya kan libur, jadi ada yang menjaga momongannya.”
“Oh begitu…? Bawa uang banyak dong bulek…? Bawa oleh-oleh apa?”
“Nggak bawa apa-apa.Usia sudah tua tapi
nggak tahu unggah-ungguh. Aku sih nggak minta apa-apa. Cuma apa pantas? Dia
bekerja jauh, menitipkan kedua anaknya, kalau pulang bawa gula teh, atau apa?
Sekedar tanda terima kasih. Lha ini…sama sekali kosong. Blas.” Jawab bulek
Anisa tampak kecewa.
“Itu namanya wong pinter,
bu….menghemat…” Kata Ida, yang tiba-tiba muncul dari balik pintu.
“Bukan hemat. Tapi pelit”. Jawab bulek
Anisa.
“Iya…keterlaluan pelitnya.” Aku
sependapat dengan bulek Anisa.
“Masalahnya ya, mbak Ros…..dia terbiasa
begini…” Kata Ida sambil meneladahkan telapak tangannya, "Namanya juga Dewi
benalu wati.” Ida berbisik.
“Lho…Rosa? Sudah lama disini?” Tanya Ningsih yang tiba-tiba muncul dari balik pintu.
“Lho…Rosa? Sudah lama disini?” Tanya Ningsih yang tiba-tiba muncul dari balik pintu.
“Lumayan. Itu bawa buah nangka. Bulek
kan paling suka buah nangka. Kebetulan nangka belakang rumah ada yang matang.”
“Buah nangkanya Rosa kan enak.
Dagingnya tebal. Nanti aku minta ya, bu…?” kata Ningsih sambil memegang buah nangka
pemberianku.
“Kalau nggak salah, kamu sudah kerja 3
tahun. Berarti tabungannya udah banyak dong…” Tanyaku.
“Iya. Aku juga bilang, agar gajinya
ditabung. Nanti kalau ada saudara atau tetangga yang buat rumah, titip semen.
Lama-lama kan ngumpul banyak.Lalu bikin rumah. Adik-adiknya kan pasti membantu”
Kata bulek Anisa.
“Alah….ibu…wong bayaran Cuma segitu kok
nabung segala….” Ningsih terlihat tak suka.
“Loh, 500.000 kan banyak. Apalagi makan
ditanggung sana, kan? Jadi uang nggak kepakai.” Tanyaku heran.
“Bayarannya 500.000, kan Cuma tiga bulan
pertama, setelah itu naik jadi 600.000 dan tiap minggu dikasih uang jajan
50.000. kan berarti jumlahnya 800.000.” Kata bulek Anisa.
“Aku kan butuh beli sabun, bedak, minyak
wangi. Mana cukup duit segitu.” Kata Ningsih emosi.
“Itulah bedanya orang cerdas dan nggak cerdas.
Kalau orang cerdas, udah tua, punya dua anak, kan mikir masa depan. Jangan seadanya
duit dihabiskan…Ya…buat kebutuhan sendiri, separuhnya, kek” Kata Ida.
“Mana cukup?” Kata Ningsih emosi.
“Ya cukup aja. Dulu tanpa penghasilan
bisa hidup. Sekarang ada penghasilan kok
tetap aja cuma hidup? Nggak ada peningkatan. Apa bedanya berpenghasilan atau
nggak berpenghasilan?” Kata Ida.
“Wong aku cuma ingin bersenang-senang
dengan duitku sendiri, kok nggak boleh…” kata Ningsih.
“Ningsih….bukan nggak boleh. Cuma kamu
juga harus memikirkan masa depanmu dan kedua anakmu.” Kata bulek Anisa.
“Lah…terserah ibu….Kok susah banget.”
Kata Ningsih sambil melangkah masuk.
“Itulah Ros…..kalau disuruh nabung, dia
marah. Aneh. Bayaran 800.000 selama tiga tahun, kok nggak punya tabungan sama
sekali.” Kata bulek Anisa tampak kecewa.
“Biarin aja bu…..toh kalau ada apa-apa,
dia sendiri yang menanggung.” Kata Ida santai.
“Ditanggung sendiri apanya? Kemarin
waktu Tono sakit, yang bawa ke dokter ya kamu…biayanya dari ibu. Apa dia
perduli?” Kata bulek Anisa.
“Itulah…Dewi benalu wati….” Kata Ida,
masih santai.
“Tapi memang aneh sekali kok. Masa duit
800.000 buat kebutuhan sendiri habis. Lha buat apa? Padahal makannya kan
ditanggung majikannya.”Kataku.
“Mbak Ros kok ikut-ikutan mikirin.
Lucu.” Kata Ida sambil tertawa geli. “Itulah mbak….makanya namanya kuganti jadi
Dewi benalu wati. Sangat cocok, kan?” Sambung Ida masih tertawa geli.
Aku ikut tertawa, memaknai arti kata
Dewi benalu wati. Bulek Anisa ikut-ikutan tertawa, tapi aku tahu kalau
sebenarnya bulek Anisa tidak begitu paham arti tawaku dan tawanya Ida.
Semenjak Ningsih jadi pembantu di
Semarang memang tidak ada lagi yang menemaniku masak sambil mengeluh dan
menjelek-jelekan Ida serta bulek Anisa. Kadang aku bosan, tapi kadang juga itu
bisa jadi hiburan Tapi kadarnya lebih membosankannya daripada hiburannya.
Kadang ingin kuusir tapi rasanya kurangbetis. Tapi apakah aku perlu menjaga
keetisan menghadapi orang yang tidak mengikuti etika bertetangga, dan etika
nunut mertua.
“Rosa….ngapain?” Terdengar suara
Ningsih.
Kok seperti suaranya Ningsih? Bukankah
baru sekitar seminggu dia pulang?
Ningsih melongokan kepala sambil
tersenyum.
“Lho! Kok dirumah? Bukankah baru
seminggu yang lalu pulang, ini kok pulang lagi? Enak bener?” Aku masih sambil
masak sayur.
“Aku keluar. Capek. Ingin
istirahat.”Kata Ningsih sambil duduk di lantai dapur.
“Capek? Pingin istirahat? Memang mau
istirahat dimana?” Aku heran.
“Ya…dirumah ibu. Mau dimana lagi?Itu kan
rumahku juga.”
“Rumah kamu juga, gimana? Aku kok jadi
bingung.”
“Lho! Rumah itu kan belum diwariskan.
Masih rumahnya ibu. Jadi aku masih punya hak tinggal disitu, sama dengan Ida.”
“Ida kan anak kandung. Selama dia belum
mandiri ya, masih tinggal bersama ibunya.”
“Suamiku juga anaknya. Jadi aku sebagai
istrinya juga masih punya hak tinggal disitu.”
“Ya beda…suamimu kan sudah meninggal.
Jadi bisa dikatakan kamu ini bekas menantu. Kalau aku yang berposisi seperti
kamu, aku akan pergi dari rumah itu.Bukan tetap tinggal bersama." Kataku.
“Salah ibu. Aku nggak dibuatkan rumah.
Pokoknya selama aku belum dibuatkan rumah, aku mau tetap disitu, kalau perlu
rumah itu jatuh padaku." Ningsih terdengar mantap.
“Maksudnya diwariskan ke kamu?” Aku
heran.
“Iya. Kan yang selama ini menemani dan
menjaga ibu, aku….” Kata Ningsih penuh percaya diri.
“Yang menjaga dan menemani bulek ya, Ida. Kamu kan hanya orang
lain yang menumpang hidup” Aku mulai emosi.
‘Sudahlah Ros….Aku ngantuk. Pingin
tidur. Aku keluar kerja kan, ingin istirahat.” Kata Ningsih sambil berdiri.
“Istirahat itu kalau di rumah sendiri.
Kamu kan numpang di bekas mertua. Kalau seusia kamu, merasa tua dan pingin
istirahat, apalagi bulek Anisa yang usianya jauh diatas kamu.” Jawabku.
Ningsih tak perduli dengan jawabanku.
Dia pergi. Memang cocok nama yang diberikan Ida. Dewi benalu wati. Sangat
cocok. Benalu…mengerokoti induk semangnya sampai kurus kering dan mati. Oh…my
god….
Sore hari, ketika aku sedang menyuapi
cucuku yang baru datang bersama ibunya. Bulek Anisa datang dan langsung duduk
di lantai, di sebelahku.
“Ada apa, bulek? Kok janur gunung,
kesini.” Tanyaku heran.
“Aku bingung sama Ningsih.”Jawab bulek
Anisa pelan.
“Iya bulek. Dia kok keluar kerja, sih?”
Tanyaku heran.
“Itulah Ros. Katanya dia ingin
istirahat. Memang istirahat di rumah siapa? Dia itu siapa?” kata bulek Anisa
kecewa.
“Aku juga bingung bulek. Katanya sudah
tua. Pingin istirahat, tapi istirahatnya kok di rumah bulek. Aneh…”
“Iya. Ya, Ros. Sekarang aku masih hidup.
Ningsih dan kedua anaknya bisa tinggal di rumahku.Makan juga ikut aku.
Lha…kalau aku mati…dia mau tinggal dimana?”Bulek Anisa tampak risau.
“Ya…semoga aja. Ningsih bisa cepet punya
rumah ya, bulek…?”Kataku menghibur.
“Apa bisa, Ros? Wong kerja di Semarang
selama tiga tahun saja. Nggak punya tabungan sama sekali. Buat rumah kan butuh
biaya sangat banyak. Duit dari mana?” Bulek Anisa tampak putus asa.
“Ya…siapa tahu Ningsih diambil istri
orang kaya, lalu diajak pulang ke rumahnya atau dibuatkan rumah.
“Kalau memang ada yang mau, ya sudah
dari dulu, Ros….Sudah 10 tahun lebih lho…Ridwan meninggal. Selama ini tidak ada
satu lelakipun yang melamar dia.” Bulek Anisa setengah mengeluh.
“Belum ketemu jodohnya, bulek….”
“Aku khawatir besok Ningsih terlantar.
Orang tuanya sangat miskin, tidak meninggalkan warisan sedikitpun.Ningsih
orangnya sangat malas dan tidak pernah mau prihatin. Bagaimana besok hari
tuanya?Paling tidak, kalau dia suka prihatin dan rajin, akan dapat pertolongan
dari Tuhan. Lha sekarang dia cuma makan, tidur, ngegosip. Apa hidupnya bisa
membaik?”
Aku tidak dapat menjawab pertanyaan
bulek Anisa. Sebenarnya aku sendiri sependapat dengan bulek Anisa.
Dari pintu yang terbuka, Tampak Ida
berjalan menuju rumahku.
“Permisi…” Ida masuk rumah dan duduk di
sebelah bulek Anisa.
“Ada apa? Kok menyusul ibu kesini?”
Tanya bulek Anisa
“Bu…aku diberi tugas yang sangat berat
oleh mas Sukoco dan mbak Arum. Bingung deh. Gimana cara menjalankannya.” Ida tampak risau.
“Tugas apa? Kapan?” Tanya bulek Anisa
penasaran.
“Tadi mas Sukoco telepon. Katanya si
Dewi diusir aja. Merepotkan ibu…”
“Si Dewi…siapa?”Tanya bulek Anisa
bingung.
“Ups! Keliru.” Ida mendekap mulutnya.
Aku tak dapat menahan diri untuk tidak
tertawa melihat tingkah Ida yang lucu
itu.
“Maksudku si Ningsih….bu…mas Sukoco dan
mbak Arum memberi amanat padaku untuk mengusirnya.” Jawab Ida dengan suara
pelan.
“Aku juga setuju. Tapi nanti dia tinggal
dimana?” Tanya bulek Anisa risau
“Ya…dia disuruh kerja ikut orang lagi.
Jadi dia tinggal di rumah majikannya.Tapi apa dia mau, ya? Wong kerja di
Semarang udah enak, juga keluar.” Jawab Ida santai.
“Kalau posisiku sebagai bulek. Aku udah
menyuruh Ningsih pergi dari dulu. Bagiku bulek terlalu baik hati.” Jawabku
jujur.
“Betul itu. Ibu terlalu baik hati. Orang
yang baik dan tidak baik diperlakukan sama.La kalau orang seperti si Dewi….ibu
ya, dimanfaatkan.”
“Lagi lagi kamu ngomong si Dewi…siapa
dia?” Bulek Anisa tampak bingung.
“Ya…si Ningsih…orang paling rajin
sedunia.”Jawab Ida melirik padaku sambil tertawa.
“Ya sudah….kalau Sukoco dan Arum pingin
Ningsih pergi. Kamu ngomong saja sama dia. Tapi jangan sampai dia tersinggung,
ya.”
“Emang bisa membuat dia nggak
tersinggung? Wong disuruh bantu-bantu ibu marah, disuruh jualan ayam juga
marah. Apalagi disuruh pergi…iya nggak, mbak Ros…?” Kata Ida sambil mengedipkan
sebelah matanya.
“Iya. Biasanya ya bulek….kalau perempuan
ikut mertua, dan dia nganggur, maksudku hnggak kerja di luar rumah. Maka dia
akan mengerjakan semua pekerjaan rumah. Lha ini? Lagaknya kayak majikan.”
Kataku jujur.
“Berarti Si Dewi masuk kategori orang
aneh alias diluar garis kepantasan ya, mbak Ros…?”
“Iya. Betul betul betul.” Jawabku sambil
mengangguk mantap.
“Kapan kamu mau ngomong sama Ningsih?”
Tanya bulek Anisa.
“Aku nggak mau, ah. Nanti tersebar ke
segala penjuru. Ida mengusir Ningsih…! Tercoreng deh, reputasiku. Iya, mas
Sukoco dan mbak Arum, Cuma memberi mandat. Namanya nggak terbawa-bawa. Lha aku?
Resikonya terlalu berat. Mempertaruhkan nama baik he…he…”kata Ida sambil
tertawa.
“Menurutku, yang ngomong sebaiknya
bulek….jangan Ida.” Aku usul.
“Betul, tuh. Aku mendukung 100%.” Jawab
Ida antusias.
“Kalau aku…terus terang nggak bisa.
Kasihan…”Jawab bulek Anisa setengah mengeluh.
“Lalu gimana? Dia numpang dan berlagak
seperti bos! Oh my god….Ibu nggak mau menyuruhnya pergi? Jadi harus aku yang
ngomong?”
“Ya, iya. Siapa lagi. Tenang….aku
dukung…”
“Biarlah berjalan apa adanya…Biarlah
Tuhan yang mengatur. Kita jalani saja hidup ini.” Kata bulek Anisa setengah
mengeluh.
“Itulah mbak Ros….Ibu orangnya
payah….terlalu gampang iba pada orang yang tak tahu diri. Payah…” Kata Ida sambil
mengipaskan tangan.
“Nanti lama kelamaan, dia akan mengerti
sendiri…”Jawab bulek Anisa.
“Nggak bakalan…..kalau mau mengerti ya
udah dari dulu….” Jawab Ida kecewa.
“Sudahlah…..kamu nggak usah mikirin yang
tidak tidak…biarlah semua berjalan apa adanya.”Jawab bulek Anisa.
“Nggak jadi diusir?” Tanya Ida.
“Nggak usah. Dosa.” Jawab bulek Anisa.
Ida hanya menatapku sambil angkat bahu.
Memang bulek Anisa terlalu baik hati,
bahkan terhadap Ningsih, yang menumpang tapi maunya terima beres tanpa mau
membantu segala kerepotannya, ditambah suka menjelek-jelekkannya di depan
tetangga, tapi masih saja diterima dengan lapang dada. Bahkan bulek Anisa
sering tidak bisa tidur memikirkan hari tuanya Ningsih. Bagaimana nanti hari
tuanya, ya Ros? Selalu itu yang ditanyakan padaku.Dan aku hanya menjawab,
serahkan saja pada yang maha Kuasa. Dan Ningsih sendiri masih menjalani
kehidupan dengan penuh ceria. Mengosip dari tetangga yang satu ke tetangga yang
lain. Kalau lapar tinggal makan, tanpa rasa malu walau tak membantu memasak
maupun membantu secara materi. Benar-benar mati, rasa malunya. Dan bukan
rahasia lagi, tetangga-tetangga memanggil dia, Dewi, dan sepertinya Ningsih
suka, katanya bagus. Coba kalau saja dia tahu nama kepanjangannya? Dewi benalu
wati. Tentu dia akan marah besar. Apalagi kalau dia tahu, yang memberi nama itu
Ida. Adik iparnya yang sangat dibenci karena selalu disayang bulek Anisa.
Dewi benalu wati iri karena bukan dia
yang disayang bulek Anisa, tapi Ida. Aneh…tapi nyata. Memang didunia ini ada
saja orang yang aneh tapi nyata. Contohnya, ya….Dewi benalu wati itu….Entah
bagaimana nanti hari tuanya. Hanya waktu yang bisa mengungkapkannya.
SELESAI
Belum ada Komentar untuk "BEKAS MENANTU (Cerpen) By Ami Daria"
Posting Komentar