TETANGGAKU KELUARGA WEWE (Cerita Misteri) By Ami Daria
Dunia gaib. Antara ada dan tiada, hidup berdampingan dengan kita. Memberikan cerita duka dan suka. Kadang kita bertemu dengan mereka, baik disengaja maupun tak sengaja.
Karena hidup berdampingan itulah kita sering mengalami peristiwa-peristiwa yang
berhubungan dengan mereka. Inilah kisah-kisah yang berkaitan dengan mereka (Makhluk-makhluk
dari alam gaib)
Selasa, 26 Juni 2018
TETANGGAku KELUARGA WEWE
Planetcerpen.com - Waktu itu siang hari, tepatnya habis Dhuhur. Aku duduk di ruang paviliun sambil makan siang. Aku memang tidak suka makan di ruang makan, lebih suka makan di ruang depan paviliun sambil melihat keluar, yang kadang-kadang ada orang lewat. Dari jendela yang terbuka aku melihat becak membawa begitu banyak barang, berhenti di halaman, lurus depan jendela. Jarak dari tempatku duduk sekitar 50 meter. Aku berdiri agar semakin jelas melihat becak itu. Seorang perempuan berkebaya hijau pupus, bertubuh semampai, langsing dan padat, turun dari becak, dan melanjutkan jalan ke arah timur dengan jalan kaki. Becak itu mengikuti di belakangnya. Mereka terus ke arah timur hingga tak terlihat olehku. Jaman sekarang kok ada orang pakai kebaya? Apa dia jadi penerima tamu pernikahan...? Aku hanya memperhatikan tanpa maksud untuk mendekatinya.
Setelah selesai makan aku
baru terpikir mengenai perempuan itu. Siapa dia dan mau kemana? Sebelah timur
rumahku hanya ada satu rumah. Yaitu rumah Bulek
Darmi. Apa perempuan itu tamunya, Bulek Darmi? Tapi kok pakai kebaya? Apa mau menghadiri pernikahan? Dengan rasa
penasaran aku ke rumah Bulek Darmi. Tapi tak ada siapa-siapa. Sepi.........Lalu
siapa dia?
Aku sudah melupakan
kejadian itu, ketika Yu Lastri, tetangga sebelah rumah mendekatiku.
“Mi...kemaren sore, Yoga melihat orang
tinggi besar di halaman rumahmu. Pakaiannya hitam, celana komprang, tolak
pinggang sambil melotot. Yoga buru-buru masuk rumah dengan tubuh gemetaran.
Sekarang badannya panas.....”
“Di halaman rumahku sebelah
mana, Yu?” Aku penasaran
“Disana...dibawah pohon
Asem.....”Kata Yu Lastri sambil menunjuk pohon asem yang ada di kebun, depan
halaman rumah. Hii....aku jadi merinding.....” Kata Yu Lastri lagi.
Aku menengok ke arah pohon
asem dan memperhatikan dengan seksama.
Pohon asem itu lumayan
tinggi sekitar 1,5 meter. Daunnya rindang, ranting-rantingnya banyak. Selama
ini aku selalu mendekati pohon asem itu untuk memetik daunnya yang masih muda, dicampurkan dengan daun pepaya. Menurut orang tuaku, daun pepaya dan daun
asem yang masih muda, (Sering disebut Sinom) bisa memperlancar peredaran darah
di otak, yang otomatis meningkatkan konsentrasi dan mengobati sakit migran.
Paling tidak seminggu dua kali aku minum jamu daun pepaya dan sinom. Untuk mengobati sakit migranku yang sering kumat. Selama
ini, saat memetik sinom, aku tidak menemukan hal yang aneh.
Sore hari aku bicara
dengan ibu “ Bu..kemarin habis Mahgrib Yoga melihat orang tinggi besar dibawah
pohon Asem. Dia melotot pada Yoga sampai-sampai Yoga ketakutan.”
”Masa pohon asem masih
kecil begitu, sudah ada penghuninya?” Ibuku seolah bicara pada diri sendiri.
“Memangnya pohon asem
sering buat rumah makhluk gaib, bu?” Aku penasaran.
“Dulu kata simbah
begitu....tapi kalau pohonnya sudah besar....ini kan masih kecil.” Kata ibuku
lagi.
“Kalau menurutku pohon
asem itu sudah besar.....buktinya tiap sore buat main ayunan Roni dan anak-anak
tetangga.” Kataku.
Roni adalah keponakanku
yang masih duduk di bangku SMP sejak kecil ikut ibuku. Ayahnya sudah meninggal
dan ibunya kerja di Jakarta. Roni yang supel akrab dengan anak-anak tetangga
yang usianya sebaya. Mereka sering bermain bareng. Entah main sepak bola, entah
main monopoli.....dan biasanya sehabis main sepak bola, mereka berayun-ayunan
mengunakan ranting pohon asem, berteriak ala Tarsan. Aku sering khawatir
kalau-kalau ranting itu patah. Tapi Roni sering menyakinkan kalau rantingnya
kuat.
“Iya, ya.....Roni sering
ayunan di pohon itu. Tapi selama ini baik-baik saja.....” Kata ibuku.
“Apa nggak sebaiknya,
makhluk itu diusir dari situ bu.....takut terjadi sesuatu pada keluarga
kita.....” Kataku.
“Kalau makhluk itu nggak
menganggu. Ya biarkan saja.....” Kata ibuku lagi.
“Menganggu gimana, maksud Ibu?”
Aku bingung.
“Ya...menganggu....memukul
atau menendang....” Kata Ibuku lagi.
“Tapi kalau Wewe itu
melotot pada tetangga yang lewat halaman kita, juga sudah termasuk menganggu
lho bu......tetangga pada ketakutan.”
“Lalu menurutmu, bagaimana
sebaiknya?” Tanya ibuku.
“Kalau menurutku,
sebaiknya Wewe itu diusir, bu......ditebang saja pohonnya bu....” Kataku.
Ibu hanya
mengangguk-angguk.
Ternyata ideku agar
mengusir makhluk itu atau menebang pohon asem itu, tak digubris ibu. Saat aku
mengingatkan hal itu ibu cuek saja.
Saat aku sedang membujuk
ibu agar menebang pohon asem itu, tetangga belakang yang melintas disamping rumah dan melihat kami
sedang ngobrol, segera menghampiri kami. “Permisi Bulek........” Kata
tetanggaku langsung duduk didekat kami.
“Ada apa, Min?” Ibuku agak
kaget melihat Casmini tampak terburu-buru.
“Aku mau cerita sedikit,
Bulek......”
“Cerita apa? Kamu kok
kelihatan gugup begitu, ada apa?” Tanya ibuku heran.
“Sekarang aku kalau lewat
halaman Bulek agak takut.....tapi gimana lagi kalau mau belanja, jalan yang
paling dekat kan lewat halaman Bulek...Ini tadi aku juga agak takut
Bulek....makanya aku setengah lari.....”
“Takut kenapa?” Ibuku
penasaran
“Gara-garanya aku melihat Wewe dibawah pohon asem itu Bulek.....” Kata Casmini masih dengan napas
terenggah-enggah.
“Kapan itu, Yu......” Aku
penasaran juga.
“Dua hari lalu. Saat itu
menjelang Maghrib aku mau beli sayur, mau lewat halaman rumah ini. Tapi nggak jadi lewat karena aku melihat laki-laki tinggi
besar beserta istrinya dan dua anaknya bermain ayunan dibawah pohon asem. Dan
laki-laki itu Bulek....hiii serem.....” Yu Casmini bergidik.
“Kenapa laki-laki itu, Min”?
Ibuku makin penasaran.
“Dia melotot sambil
mengacungkan tinjunya. Aku kan takut....Baru melihat tok saja udah takut,
apalagi diacungi tinju......”
“Wah....Wewe itu
menakut-nakuti para tetangga Bu.....Makanya harus kita usir Bu.....” Usulku.
“Aku takut sekali, Mi.....Siang
hari juga aku takut....makanya tadi aku setengah berlari. Kalau sudah Mahgrib
aku malah benar-benar takut. Diupahi sejuta aku tetap nggak mau, kalau disuruh
lewat depan. Hiii.....”
“Memangnya yang mau kasih
upah kamu sejuta ya, siapa.....?”Tanya ibuku sambil tertawa.
“Seupamanya Bulek....itu
cuma seupama.....”Kata Yu Casmini ikut tertawa.
“Ya...kalau memang ada
yang kasih sejuta, kuantar Yu....nanti duitnya kita bagi dua, ya Yu....
“Kataku.
Yu Casmini mengangguk
mantap. “Ya udah Bulek....aku cuma mau bilang itu....Kalau menurutku lebih baik
pohon asem itu ditebang aja. Takut nantinya jadi perkampungan Wewe. Permisi
Bulek.....” Yu Casmini sambil melangkah keluar.
“Iya Yu....makasih atas
infonya....”Kataku.
“Berarti Casmini juga
ditakuti Wewe itu ya, Mi......”Tanya Ibu.
“Iya Bu......Wewe itu
menakut-nakuti tetangga kita. Yoga, Yu Casmini mungkin yang lain juga, cuma
belum cerita ke kita aja.”Kataku.
“Kapan Wewe itu
boyongan, ya....?”Kata ibuku.
“Oh ya, Bu.....kira-kira
sebulan yang lalu, aku melihat perempuan pakai kebaya hijau pupus naik becak
bawa barang banyak banget, turun di depan rumah. Apa dia Wewe boyongan ke
pohon asem itu, ya.....” Aku teringat kejadian itu.
“Kamu melihat
boyongannya?” Tanya ibuku.
“Iya.....pakai baju hijau
pupus....bodynya bagus lho bu.....padat berisi....”Kataku sambil tertawa.
“Mau boyongan kok nggak
pamit ibu, ya......Harusnya kan pamit aku. Bagaimanapun juga pohon asem itu kan
punyaku.” Kata ibuku.
“Makanya bu.....dia kan
tamu tak diundang......menakut-nakuti tetangga lagi. Ya...kita usir saja.”
Kataku.
Ibuku hanya diam. Beliau
tampak berpikir keras. Memang ibuku sedikit sedikit punya kemampuan
supranatural. Bisa berkomunikasi dengan makhluk-makhluk gaib.
“Bagaimana, Bu.......mau
kita usir....”Tanyaku penasaran.
“Untuk sementara biarkan
saja. Kecuali kalau sampai membuat celaka.”Kata Ibuku.
“Sudah menakut-nakuti lho,
Bu.......aku sendiri juga jadi takut.....”Kataku bergidik.
“Biarkan saja dulu.....Dia
kan butuh tempat tinggal juga....”Kata Ibuku.
Waduh! Ini alamat aku
hidup berdampingan dengan Wewe deh......amit-amit......takut
deh........Tapi gimana lagi? Ibuku tak mau mengusirnya.
Sejak itu, halaman rumahku
jadi sepi. Tetangga yang biasa lewat depan rumah pada ketakutan. Mereka memilih
lewat jalan lain. Aku juga ikut-ikutan takut. Kalau mau memetik sinom, menunggu
saat Roni dan teman-temannya bermaindi pohon itu.Kalau
sendirian....hiii...serem juga. Takutnya saat aku memetik daun, ada yang
mencengkeram tanganku atau mendorongku. Aku kan tak bisa melihat mereka,
sementara mereka melihatku.
Tengah malam aku terbangun
karena suara berisik di halaman. Suaranya sama dengan suara Fino, cucunya Bulek Darmi. Tapi kenapa berisik sekali? Dari suaranya seperti lebih dari dua anak.
Siapa saja, ya....? Ada rasa penasaran. Tapi rasa kantukku yang benar-benar
berat mengurungkan niatku untuk keluar melihat mereka.Mungkin Fino pulang dri
pasar malam. Kebetulan ada pasar malam di desa sebelah.
Pagi harinya aku
menanyakan hal itu pada Fino. Fino menjawab kalau tadi malam tidur dari sore
dan tidak ke pasar malam. Hal itu dimantapkan oleh ibunya, Indri. Lalu siapa
yang semalam ramai? Indri malah menduga kalau yang ramai Roni dan
teman-temannya. Tapi Roni sudah tidur dari jam sembilan malam. Lalu siapa? Kata
Ibuku keluarga Wewe itu. Ternyata keluargaku dan keluarga Bulek Darmi terganggu
dengan suara berisik semalam.
Masih banyak
kejadian-kejadian mengenai keluarga Wewe itu. Yang sering Wewe itu
menakuti tetanggaku. Namun kejadian itu tak membuatku bisa membujuk ibu agar
mengusir keluarga Wewe itu.Prinsip ibuku, kalau tidak menganggu tidak akan
diusir.
Roni tidak terusik dengan
kabar para tetangga yang melihat Wewe di pohon asem. Dia enjoy enjoy aja.
Tetap bermain ayunan dengan asyiknya. Justru aku yang ketar-ketir, takut
terjadi sesuatu pada Roni dan teman-temannya.
Waktu itu aku menasehati
Roni, “Roni.... jangan bermain disana lagi....kamu tahu ada Wewe, kan?
Takut terjadi sesuatu padamu atau yang lain.....”
“Tenang saja
Bulek...Wewe itu nggak mungkin berani macem-macem sama aku....”Kata Roni
penuh percaya diri.
“Kok kamu begitu yakin?
Apa alasanmu?”Aku penasaran.
“Kan pohon asem itu punya
Mbah Putri....aku kan cucunya....” Jawab Roni lagi.
“Pohon asem itu memang
punya Mbah Putri...tapi siapa tahu Wewe itu merasa itu rumahnya? Bisa saja
dia merasa terganggu.....”Jawabku lagi.
“Tenang
Bulek......Wewe itu nggak bakalan mengangguku.......tenang....” kata Roni
dengan sombongnya. Memang Roni punya sifat agak sombong. Rasa percaya dirinya
terlalu tinggi.
Untuk sementara kami
mengacuhkan pohon asem itu. Sebenarnya aku secara pribadi tak berhenti
memikirkan keberadaan Wewe di pohon asem itu. Rasa takut sering
menghantuiku. Apalagi kalau aku mau lewat dekat pohon asem itu. Padahal
kemana-mana selalu lewat disitu. Tapi ibuku santai-santai saja. Katanya, nggak
apa-apa, selama mereka tak menganggu.
Bagiku, Wewe itu
menampakan diri, melotot pada tetangga sehingga mereka ketakutan, itu sudah
sangat menganggu. Tapi kata ibuku, salah tetanggaku sendiri. Wong begitu saja
kok takut. Kecuali kalau dipukul.....
Ibuku memang bisa melihat atau komunikasi dengan makhluk gaib. Jadi penampakan mereka dianggap biasa-biasa saja. Beda dengan orang lain, sekedar melihat juga sudah membuatnya ketakutan setengah mati.
Aku dan ibu sedang ngobrol
di belakang rumah ketika Toni, teman bermain Roni teriak-teriak memanggil kami.
Katanya Roni jatuh dari pohon saat sedang main ayun-ayunan ranting. Begitu kami
sampai dibawah pohon itu, Roni sedang jongkok menunduk, tanpa bergerak sama
sekali.
“Roni....kamu nggak
apa-apa?” Ibuku tampak sangat khawatir.
Roni mengeladahkan mukanya
secara berlahan,” Aku baik-baik saja, Mbah Putri....” Suaranya terdengar sangat
lirih dan pelan.
“Kamu kok bisa jatuh itu
gimana?” Aku khawatir.
“Aku merasa ada yang
mendorong Bulek......” Jawab Roni.
“Ada yang mendorong?
Siapa?”
“Nggak tahu. Pokoknya aku
merasa ada kekuatan yang mendorongku.”
“Siapa yang berani
macem-macem sama cucuku.......Ya udah...ayo berdiri.” Kata Ibuku.
Aku menatap Roni
lekat-lekat. Mukanya tampak sangat pucat, “Ayo kita ke Puskesmas.” Aku
mengangkat Roni agar berdiri. Namun Roni tetap jongkok.
Yoga datang dan memapah
Roni agar berdiri, “Biar aku saja mbak...yang bawa Roni ke Puskesmas.....” Yoga
dibantu Toni memapah Roni ke motor dan membawanya ke Puskesmas.
“Yang lain pulang dulu, ya........”Kataku.
Teman-teman Roni
mengangguk dan mereka bubar.
Malam hari ibu mengajakku
bicara, “Tak bisa dibiarkan....Wewe itu harus diusir...Dia sudah berani
menganggu Roni.....”
“Aku setuju....dari dulu
kan aku sudah bilang........Wewe itu harus diusir....”
“Iya. Selama ini Ibu tak
mau mengusir karena mereka tidak menganggu.....”
“Tapi sekarang dia
menganggu Roni. Ibu nggak tanya mereka, kenapa menganggu Roni?” Tanyaku.
“Kata mereka Roni sudah
menganggu ketenangan mereka. Kok bisa begitu? Mereka kan datang
belakangan.....”
“Lha iya....wong mereka
yang datang belakangan kok terganggu.....”Kataku.
“Makanya Wewe itu
harus diusir......”Kata Ibu.
“ Ditebang sekalian saja,
Bu....”Kataku.
“Iya ditebang saja. Tapi
sebelum ditebang Wewe itu harus diusir dulu. Kalau belum diusir bisa
mencelakakan yang menebang.”
“Cara mengusirnya
bagaimana, Bu?” Aku benar-benar tak tahu caranya.
Ibu diam sejenak.
“Caranya dibawah pohon itu
ditaburi garam. Kamu yang menaburi garam, ya?”
“Kok aku?”
“Lha siapa? Memangnya Ibu?
Ya kamu......”
Waduh! Kenapa harus aku?
Nanti kalau aku sedang menaburi garam, tiba-tiba Wewe itu muncul dan
mencelakai aku, bagaimana? Namun dengan berbagai alasan ibu tetap
menyuruhku sampai aku tak dapat menolaknya.
“Berapa hari, Bu...?”
“Seminggu secara
berturut-turut. Nanti kalau Wewe itu sudah pergi baru ditebang.
Dengan sangat terpaksa dan
sedikit takut aku menjalankan perintah Ibu. Menaburi bawah pohon Asem dengan
garam krosok. Sebelum mulai menabur garam baca Syahadat dulu 11x. Waktunya dari
habis Ashar sampai menjelang Maghrib. Kata Ibu yang paling bagus pas Maghrib.
Gila! Kalau pas Maghrib, ya sudah gelap.....takut lah...mendingan habis Ashar
saja. Masih terang.
Waktu tujuh hari kulalui
dengan selamat tanpa halangan suatu apapun.hari berikutnya Ibu menyuruh Kang
Santos, buruh harian dekat rumah untuk menebang pohon asem itu.
Setelah pohon asem itu
ditebang, keadaan aman. Tidak ada lagi keluarga Wewe itu. Mereka sudah
pindah entah kemana. Tak seorangpun yang tahu.
(Ini pengalamanku beberapa tahun yang lalu, tepatnya
tahun 2010. Sekarang di tanah bekas pohon asem itu dibangun rumahku. Dan tanah
bekas pohon itu tepat disamping kamar tidur yang tengah. Bila aku tidur dikamar
itu sering mimpi buruk, antara sadar dan tidak sadar aku seperti ada dalam
hutan belantara yang gelap, dikejar-kejar laki-laki tinggi besar berpakaian
hitam, yang hendak mencekikku. Tapi kalau yang tidur disitu suami atau kedua
putraku, aman-aman saja. Mereka sama sekali tidak diganggu. Selain itu kalau
malam Jumat, di tempat itu sering bau cem-ceman, pertanda ada makhluk lain.
Waktu aku tanya ibu, katanya penghuni yang dulu datang untuk melihat bekas rumahnya.Bernostalgia ni yee......)
Belum ada Komentar untuk "TETANGGAKU KELUARGA WEWE (Cerita Misteri) By Ami Daria"
Posting Komentar