PANGGILAN 3X (Cerita Misteri) By Ami Daria
By : Ami Daria
Di dunia ini ada
alam nyata dan alam gaib. Alam gaib, yang tak terlihat mata namun benar-benar
ada. Kadang tanpa kita sadari, kita hidup berdampingan dengan mereka,
berbagi tempat. Karena hidup berdampingan itulah kita sering
mengalami peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan mereka. Inilah kisah-kisah yang berkait dengan orang-orang dari alam gaib.
8 Agustus 2018
PANGGILAN 3X
Planetcerpen.com Aku memiliki enam kakak. Salah satunya kakak perempuan, bernama Ari. Jarak usia kami empat tahun tapi kami sangat akrab. Ya maklum, dari saudara-saudara yang sudah remaja, cuma kami berdua yang sama-sama perempuan. Sebenarnya aku ada juga adik perempuan, tapi masih kecil 3 tahun dan 9 tahun. Jadinya kami ngemong. Mbak Ari orangnya centil dan periang. Saat itu dia termasuk cewek yang modis. Kalau pakai baju biru, rambut dikucir pakai pita biru. Gelang dan anting juga warna biru. Pokoknya mecing. Beda denganku yang tomboy. Kemana-mana pakai celana dan kaos oblong. Rambut dipotong pendek. Sama sekali tidak suka mecing-mecingan seperti itu. Penampilan kami memang beda sekali. Sangat bertolak belakang. Kalau orang-orang bilang, kami sangat mirip, apalagi portur tubuh kami juga sama, baik tinggi maupun besarnya. Maklum aku termasuk bongsor, dan mbak Ari kecil langsing. Memang kami mirip tapi cantik aku sedikit, cantik di mbak Ari banyak......hehehe. Mungkin karena dia mecing itulah, jadinya terlihat wouw...! Penampilan bagai selebritis. Dia selalu ganti-ganti baju dengan model yang sedang in juga model yang aneh-aneh......menurutku tapi......
Pulang
sekolah, sesudah makan siang, aku duduk di teras sambil baca majalah "Penjebar
Semangat" Mbak Ari boncengan dengan mbak Atun, temen SMA, yang duduk sebangku. Mereka memang sangat akrab. Dia anak orang kaya
sehingga dikasih uang saku berlebihan dan segala keinginannya selalu dipenuhi. Mereka
berdua sering belanja. Beli sepatu warna biru, merah marun, bahkan hijau.
Sepatu berhak tinggi. Kadang aku heran, wong sekolah SMA kok pakai sepatu berhak
tinggi. Saingan sama bu guru dong... Sepatu, pita rambut juga gelang mereka
sering sama, dari segi warna maupun modelnya. Kalau menurutku mereka
norak....hehehe. Bagaimana tidak norak? Sepatu, pita rambut, gelang juga tas,
warnanya sama. Pernah waktu itu warnanya merah. Ya...merah semua. Dari ujung
kaki sampai ujung rambut. Norak, kan......? Yang membuatku heran, kok bisa-bisanya
mbak Atun klop dengan mbak Ari.
“Kok,
bisa boncengan? Sepeda mbak Ari, mana?” Aku heran.
“Ya....di
penitipan sepeda...Diambil besok aja....”? Jawab mbak Ari santai sambil masuk
rumah.
Mbak
Atun cuma tertawa sambil mengikuti masuk rumah.
“Sebentar,
ya.....” Kata Mbak Ari sambil jalan ke ruang tengah, selang sebentar muncul lagi sambil membawa
es teh. Setelah itu mereka sibuk membuka-buka majalah remaja. Seperti biasa,
mereka mencari model baju terkini dan menirunya. Mbak Ari yang menjahit. Dia belajar
menjahit secara otodidak dibimbing ibu. Memang ibu kami menerima jahitan juga
jualan kain. Makanya kalau ada model yang sedang in. Mbak Ari selalu mengambil
kainnya ibu, dan dijahit sendiri. Kalau mbak Atun beli. Masalah ongkos
menjahitnya, aku tak tahu, apakah membayar sama mbak Ari atau gratis. Yang
jelas, mereka ingin pakai baju Kembar.......
Mungkin
karena begitu sayangnya padaku, mbak Ari yang modis, ingin aku modis juga. Niat
mbak Ari memang baik, tapi aku lebih merasa sebagai korban.
Bagaimana
bukan korban?Saat itu mbak Ari melihat model di majalah dan dipraktekan padaku.
“Masih
pagi. Masih ada waktu. Sini...aku dandani biar kamu jadi cantik.......” Kata
mbak Ari sambil menarik tanganku hingga duduk disampingnya.
“Apaan,
mbak...?” Tanyaku mau lari.
“Rambut
kamu dikucir dua biar feminim... seperti model di majalah itu.
Cantik....sekali”
“Namanya
juga model. Ya cantik....lha aku, rambut pendek begini dikucir? Ya...norak,
jelek....”
“Cantik....cantik.....adik
siapa dulu....Kamu harus tampil cantik dan modis.” Kata mbak Ari, mulai
mengucir rambutku.
“Ya
jadi seperti anak TK...Norak lah......”
“Ya
nggak.....Jadi cantik....Udah..kamu nurut aja....” Kata mbak Ari lagi.
Ya
sudah, daripada bertengkar aku mengalah.
“Nah....begini
kan cantik...ini kan dalam rangka Agustusan....seperti modelnya. Kuciran kanan
pakai pita merah, sebelah kiri pakai pita putih. Cantik....sekali. Coba
bercermin.....” Kata mbak Ari sambil menyodorkan cermin.
“Wouw.....norak
sekali....aku terlihat 95% dong mbak......” Kataku sambil melotot ke cermin.
“95%
gimana? Ya....100% normal. Ini kan menunjukan kamu cinta Indonesia. Merah
putih. Udah sana berangkat.....Aku juga mau berangkat.” Kata mbak Ari sambil
masuk kamar untuk mengambil tas sekolah.
Ya
sudah.....aku juga berangkat. Tapi sampai tengah jalan aku melepas kuciran itu
dan menyisirnya sampai rapi. Bayangkan! Rambut pendek dikucir dua lalu diberi
pita, sebelah kanan merah, sebelah kiri putih. Aku kok merasa seperti orang
gimana....gitu. hehehe.
Pernah
juga aku disuruh pakai sepatu berhak tinggi warna biru toska, katanya aku
kelihatan anggun. Terus rambutku dikasih bando warna biru toska juga.Ya....seperti
biasa, aku menurut saja, daripada kami bertengkar. Sampai tengah jalan bando
aku lepas. Tapi sepatu? Aku mau ganti pakai apa? Sampai di sekolah aku cuma di
dalam kelas. Juga saat istirahat.Mau jalan-jalan ke kantin atau ke perpustakaan
malu. Kok saingan sama bu guru. Hehehe.....
Saat
aku naik ke kelas 2 SMP, mbak Ari kuliah di Jakarta, dan tinggal bersama Om
Harto, adik kandung Ibu. Untuk persiapan kuliah, Mbak Ari membuat baju banyak,
yang kainnya ambil dari dagangan ibu. Modelnya lihat di majalah remaja. Mbak
Ari menghitung bajunya yang masih bagus cuma ada 10, jadi mau buat 16 lagi agar
genap 26. Jadi saat kuliah nanti akan ganti baju setiap hari selama sebulan. Ibu
hanya geleng-geleng kepala melihat keroyalan mbak Ari.
Aku
berusaha mencegahnya, “Jangan mbak....kasihan Ibu...nanti bangkrut.”
“Gimana
bu? Boleh, nggak....?” Tanya Mbak Ari pada Ibu.
“Nggak
apa-apa. Pilih saja mana yang kamu suka.” Kata Ibu sambil tersenyum.
“Weeek......!
Ibu nggak apa-apa.......” Kata Mbak Ari sambil tertawa riang. Aku cuma
tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
“Nah....kalau
begini, aku kan bisa ganti baju tiap hari selama sebulan full.” Kata mbak Ari
sambil memilih-milih kain.
Setelah
mulai kuliah kami jadi jarang ketemu. Paling-paling mbak Ari pulang kampung
saat liburan semesteran dan lebaran. Sudah setahun mbak Ari kuliah. Tiba-tiba
mbak Ari pulang diantar bulek Indah, istrinya Om Harto. Mbak Ari sakit. Kulit
tubuhnya agak kuning. Oleh Ayah dibawa ke dokter. Menurut diagnosa dokter bukan
sakit yang berbahaya. Cuma perlu banyak istirahat dan perbanyak minum air
putih. Seminggu di rumah, mbak Ari berangkat ke Jakarta lagi karena mau
mengikuti ujian semesteran. Tapi di Jakarta baru dua Minggu dia pulang lagi,
dan sakitnya makin parah. Akhirnya dibawa ke rumah sakit. Menurut dokter dia
terkena sakit liver, sudah parah. Kami yang di rumah cuma bisa berdo’a agar
mbak Ari di beri kesembuhan. Namun ternyata do’a kami tidak terkabul. Tiga hari
kemudian, dia meninggal. Tepatnya pada hari Jumat Kliwon, 4 Desember 1987. Kami
sekeluarga dirundung duka yang begitu dalam.
Saat
itu aku masih Mid Semester pelajaran IPA. Jadi aku harus tetap berangkat
sekolah. Tetangga-tetangga yang kulewati selalu menyapa, menanyakan kenapa aku
tetap berangkat sekolah. Aku hanya tersenyum. Kesedihan yang begitu dalam, yang
harus kusimpan dalam-dalam, membuat dadaku terasa sesak hingga aku tak mampu
bicara. Aku benar-benar tak mampu bicara. Di sekolah teman-teman mengajak
bicara, aku hanya senyum-senyum. Saat soal IPA di depan mata, aku juga tak
mampu mengerjakannya. Soal itu hanya kulihat berulang-ulang tanpa ada niat
untuk menjawabnya.
Tiba-tiba
pengawas berdiri, “Kurang lima belas menit.”
Apa?
Kurang lima belas menit? Aku sangat kaget. Oh My God......soal-soal itu belum
aku jawab satupun. Akhirnya aku menjawab soal-soal itu mengunakan "Aji
pengawuran". Tanpa membacanya jawab semua soal itu, termasuk soal essay. Selesai bersamaan dengan bel tanda waktu sudah habis. Soal dan jawaban aku
kumpulkan dan aku langsung pulang. Teman akrabku Sari, bingung dengan sikapku
yang diam tanpa bicara sepatahpun. Aku cuma mengeleng sambil tersenyum. Tiga
hari aku tidak mampu bicara. Tenggorokan ini terasa sakit dan kering. Ternyata
kesedihan yang begitu dalam membuatku tak mampu bicara.
Setelah
lulus SMP, aku mendaftar SMA di lain kecamatan. Aku ingin sekolah yang agak
jauh agar ke sekolah naik angkutan. Kelihatannya kok menyenangkan. Naik
angkutan bareng temen-temen, jadi akrab. Pulang dari daftar, begitu masuk rumah
ada suara memanggilku, “Ami.......Ami......Ami......” Suara itu....? Itu
suaranya mbak Ari. Tidak salah lagi. Itu suaranya mbak Ari.......Tapi suara itu
terdengar sangat jauh. Aku bingung, ada apa mbak Ari memanggil-manggil aku?
Saat
pengumuman aku ke SMA tempatku mendaftar. Ternyata namaku tidak terpampang di
papan pengumuman. Aku tidak diterima. Aku teringat panggilan 3x itu. Apakah itu
sebagai firasat kalau aku akan gagal? Akhirnya aku mendaftar di SMA swasta yang masih satu kecamatan. Cari yang dekat saja.
Aku
sudah duduk di bangku SMA. Saat itu pelajaran Fisika. Guru sedang menerangkan
di depan kelas. Tiba-tiba kulihat mbak Ari masuk kelas dan berjalan ke
belakang. Aku menoleh, mengikuti langkah mbak Ari, “Mbak Ari......mau
kemana..........”
“Mbak
Ari siapa.....?” Tanya Ningsih, yang duduk disebelahku.
Aku
cuma diam sambil mengawasi mbak Ari yang jalan kesebelahku lalu keluar kelas.
Ada apakah gerangan? Tanda tanya yang begitu besar berkecamuk dalam otakku.
Sampai
rumah aku tiduran. Tiba-tiba hadapanku ada wajahku. Lho! Wajah itu benar-benar
wajahku. Dia tersenyum padaku. Walau sangat bingung, aku membalas senyum itu.
Senyumku sendiri. Aku benar-benar tidak tahu, apa yang terjadi padaku? Kenapa
ada dua wajahku. keesokan harinya aku sakit panas. Begitu tinggi sehingga aku
tidak bisa masuk sekolah sampai empat hari. Setelah sembuh dari sakit, aku
teringat atas kedatangan mbak Ari ke kelas. Apakah mbak Ari mencoba
memberitahuku, kalau aku akan sakit? Lalu wajah yang mirip denganku, yang
tersenyum padaku, dia siapa? Kalau menurut ibuku, itu saudaraku sendiri. Kalau
orang Jawa bilang, Sedulur papat, yang memberi kode agar aku waspada.
Saat
lulus SMA aku mendaftar kuliah di ISI Nyogyakarta. Sambil menunggu tes
penyaringan, aku pulang dulu untuk mempersiapkan segala kebutuhanku.H-1
menjelang tes penyaringan, kebetulan kakakku ke tiga akan menikah. Di rumah
banyak saudara yang kumpul untuk menuju ke rumah calon pembelai putri.
“Kamu
kok pakai celana jeans dan kos oblong.....pakai gaun dong....” Kata bulik Nita,
saudara yang datang dari Jakarta.
“Wong
aku nggak ikut ke pernikahan kok.....” Jawabku pelan.
“Kenapa?”
Tanya Bulik Nita heran.
“Aku
mau ke Yogya. Besok ada tes penyaringan.......”Jawabku lagi.
“Aduh.
Kasihan sekali kamu.....Nggak lihat mantenan kakakmu dong.....”
“Nggak
apa-apa bulek.....”Jawabku.
“Mbakyu....itu
Ami kasihan sekali.....nggak bisa lihat mantenan kakaknya....” Kata Bulek Nita
pada Ibu.
“Nggak
apa-apa, Nit........wong ujian masuknya besok. Mau bagaimana lagi?” Kata Ibuku
sambil masuk kamar.
Tiba-tiba
terdengar suara panggilan, “Ami......Ami......Ami........”
Suara
itu.....suaranya mbak Ari.....berarti aku tidak di terima di ISI dong.......
Aku
menyusul ibu ke kamarnya, “Bu.......ada suaranya mbak Ari memanggilku....”
“Suara
Ari.....? Kamu jangan menyahut dong.....” Ibu terlihat khawatir.
“Aku
nggak menyahut, bu.....Cuma biasanya kalau ada suara panggilan mbak Ari.....itu
merupakan pertanda kalau apa yang aku inginkan akan gagal.” Jawabku. Memang
panggilan 3X yang selama ini aku alami, tidak aku ceritakan pada ibu.
“Maksudmu?”
Ibu heran.
Akhirnya
aku menceritakan panggilan 3X dan kejadian yang mengiringinya selama ini.
“Jadi....karena
aku udah diberi kode, tidak akan di terima di ISI, lebih baik aku nggak jadi
ikut ujian penyaringan......percuma.”
Ibu
hanya diam sambil berpikir keras. Secara bersamaan mas Hendra, calon
pengantinnya masuk kamar. Ibu segera menceritakan pengalamanku tadi.
“Jadi
maksudnya, Ami nggak akan ikut tes penyaringan itu?” tanya mas Hendra.
“Betul....betul.....”
Aku mengangguk penuh semangat.
“Ibu
setuju....”Kata Ibu.
“Kalau
aku tidak setuju. Itu namanya kalah sebelum berperang. Kita tidak akan tahu apa
yang akan terjadi, kalau belum menjalaninya.
“Tapi aku udah dikasih kode kok......?”
Tanyaku.
“Jangan terlalu percaya pada kode itu. Kamu
harus tetap ikut tes penyaringan di ISI. Di terima Alhamdulillah......ditolak,
ya....nggak apa-apa. Tapi yang penting dicoba dulu.” Kata mas Hendra.
Aku
megangguk. Akhirnya aku tetap mengikuti tes itu.
Menuju
ke pernikahan mas Hendra mengunakan enam mobil pribadi. Begitu mobil rombongan
sampai jalan raya aku mau turun.
“Hati-hati,
ya......” Ibu berpesan padaku.
“Kasihan
sekali kamu.....kakaknya nikah, nggak bisa menyaksikan....”Kata Bulek Nita.
“Nggak
apa-apa, Bulek.....”Kataku.
Setelah
salaman dengan mereka semua, aku turun. Mereka melanjutkan perjalanan ke barat,
ke arah Tegal. Sedangkan aku turun dan naik bis ke arah Timur, jurusan
Semarang. Sampai terminal Semarang naik lagi jurusan Yogya.
Saat
pengumuman hasil seleksi aku ke ISI untuk melihat hasil pengumuman. Ternyata namaku tidak
terpampang di papan pengumuman. Aku tidak diterima. Dari pengalaman-pengalaman
itulah aku menyimpulkan, bahwa panggilan 3X itu merupakan pertanda, bahwa apa
yang aku kejar, aku inginkan akan gagal.
Ibu
memanggilku ke kamar, menanyakan tentang panggilan 3X tersebut secara lebih
mendetail. Aku menceritakan semuanya.
“Yang
jelas, kamu jangan pernah menjawab panggilan itu, ya....” Kata Ibuku.
“Memangnya
kalau aku menyahut kenapa, bu?” Tanyaku tak mengerti.
“Kalau
kamu menyahut panggilan itu, kamu bisa meninggal......”Kata Ibuku pelan.
“Haaa....?
Meninggal....hiii....?” Aku merinding ketakutan.
Saat
kami sedang ngobrol, ada suara panggilan, “Ami.....Ami.....Ami......”
Aku
tidak berani menyahut. Tapi kok suara itu beda....? Itu bukan suaranya mbak
Ari....
“Siapa
itu, memanggilmu?” Tanya ibu sambil melangkah keluar.
“Lho!
Ibu dengar juga...?” Aku mengejar ibu keluar.
Sampai
diluar kami melihat mas Hendra dan istrinya, mbak Mei.
“Oalah....ternyata
mas Hendra dan mbak Mei....pantas saja ibu mendengar juga...” Aku tertawa geli.
Ibu
juga tertawa geli sambil mengacak-acak rambutku.
Setengah
tahun kemudian, mbak Mei mengandung. Ibu mengajak mas Hendra dan aku bicara.
“Begini
Hen....Kalau nanti anak pertama kamu perempuan, berarti adikmu Ari akan menitis
ke anakmu. Kasih dia nama yang bagus, ya....”
“Menitis?
Bukankah kalau dalam agama, orang yang sudah meninggal akan ke akherat?” Aku
tak mengerti.
“Ini
adalah kepercayaan menurut Jawa. Kadang kalau dinalar sangat tidak masuk akal.”
Kata Ibu.
“Iya
bu...pokoknya nanti anakku akan aku kasih nama yang sangat bagus.”
“Iya.....Ari
dulu sering protes pada Ibu. Katanya, kenapa namanya jelek?”
“Kalau
menurutku nama mbak Ari nggak terlalu jelek sih, bu.....”
“Memang.....tapi
kata dia, namanya terlalu jelek. Harusnya Dewi Permata sari, apa Puspitasari,
atau apalah....”Kata ibu sambil tertawa.
“Atau
Dewi Kangkung wati...Bayam Puspitarini.....” Kataku ikut tertawa.
“Kamu
ini sukanya meledek....Mentang-mentang suka sayur...kangkung sama bayam buat nama juga........” Kata Mas Hendra sambil tertawa.
“Ami....kamu
bisa membuktikan omongan Ibu. Kalau besok anak pertama Hendra memang perempuan,
berarti dia titisannya Ari. Ingat....sejak saat itu suara Ari yang selalu
memanggilmu 3x akan hilang......”
“Begitu,
bu.....”Aku heran.
“Ya.....kita
buktikan saja.” Kata ibuku mantap.
Dan
memang benar. Setelah kelahiran keponakanku, putri dari mas Hendra, panggilan
3x dari mbak Ari tidak pernah terdengar lagi. Apakah memang mbak Ari menitis ke
keponakanku itu? Aku sendiri tak tahu. Hanya Tuhan yang tahu semuanya.
NB
: Ini adalah pengalamanku sendiri. Semoga Mbak Ari mendapatkan tempat yang
terbaik di Sisinya. Amin....
Belum ada Komentar untuk "PANGGILAN 3X (Cerita Misteri) By Ami Daria "
Posting Komentar